maaf email atau password anda salah


Kesalahan Kronis Tata Kelola Jagung

Pasokan jagung tak tersedia merata sepanjang tahun. Naiknya harga pakan ternak berdampak pada harga telur dan daging ayam.

arsip tempo : 171422699412.

Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita. tempo : 171422699412.

NAIKNYA harga pakan ternak karena masalah yang sama menunjukkan pengambil kebijakan tak belajar dari kesalahan sebelumnya. Pemerintah tak punya program yang bisa memastikan pasokan jagung, bahan pakan ternak, tersedia merata sepanjang tahun. Akibatnya, selalu ada periode stok jagung minim, yang berakibat terkereknya harga pakan ternak dan berdampak pada naiknya harga telur serta daging ayam.

Kesalahan pemerintah bahkan sangat mendasar: tak memperhitungkan dampak musim terhadap produksi jagung. Badan Pangan Nasional menyatakan tak menyangka produksi jagung bakal turun drastis pada musim kemarau panjang yang disebabkan oleh El Nino. Padahal El Nino adalah siklus yang bisa diprediksi jauh-jauh hari. Sungguh mengherankan lembaga pemerintah yang bertugas menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan abai akan hal tersebut.

Dalam sepekan terakhir, harga pakan ternak naik hingga 20 persen. Penyebabnya, produksi jagung terus menukik. Pekan lalu, harga rata-rata jagung Rp 6.900 per kilogram. Kini, harganya naik menjadi Rp 7.300-7.500 per kilogram. Di wilayah Solo, misalnya, harga jagung sudah mencapai Rp 9.000 per kilogram, dari harga “normal” Rp 6.000 per kilogram. Padahal harga acuan pembelian yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 5.000 per kilogram.

Setahun terakhir, harga jagung di pasaran sudah di atas harga acuan pembelian. Pada awal 2023, harga rata-rata jagung Rp 5.639 per kilogram, naik dari rata-rata pada 2020. Akibat kenaikan itu, sepanjang tahun lalu, harga pakan ternak berada di atas Rp 7.000 per kilogram, yang menambah beban produksi peternak. 

Bila tak segera diatasi, kelangkaan jagung akan berdampak pada membubungnya harga telur dan daging ayam. Saat harga komoditas lain masih tinggi, seperti beras yang juga mengalami kenaikan, inflasi karena naiknya harga telur dan daging ayam bisa makin menggerus daya beli masyarakat. 

Salah satu solusi untuk mengendalikan harga adalah membuka keran impor jagung dalam jumlah terbatas. Impor jagung bisa dilakukan asalkan tak berlebihan. Apalagi para petani sebentar lagi akan memasuki musim panen jagung. Impor jagung yang berlimpah saat musim panen akan membuat harga anjlok dan memukul petani. Di sinilah pemerintah perlu memetakan periode surplus dan defisit jagung sebagai langkah awal menjaga pasokan tersedia sepanjang waktu.

Untuk memulainya, pemerintah perlu data yang sahih. Tanpa itu, sulit bagi pemerintah merencanakan pemenuhan kebutuhan jagung dalam setahun. Dua institusi pemerintah yang membawahkan masalah ini, Badan Pangan Nasional dan Kementerian Pertanian, justru memiliki data yang bertolak belakang. Kementerian menyebutkan Indonesia mengalami surplus produksi jagung 5-6 juta ton. Sebaliknya, Badan Pangan menaksir neraca jagung defisit. Pada Desember tahun lalu, misalnya, kebutuhan akan jagung mencapai 1.270.254 ton, tapi produksi hanya 264.887 ton. 

Entah mana yang benar, tapi ketiadaan data yang kredibel akan membuat pemerintah kembali terperosok pada lubang yang sama.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan