Rendy Pahrun Wadipalapa
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, mahasiswa doktoral pada School of Politics and International Studies di University of Leeds
Pengambilalihan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko barangkali adalah krisis serius yang tidak pernah mampir dalam imajinasi politik mana pun. Peristiwa ini telak menantang keajekan sebuah dinasti politik yang berjangkar pada pengaruh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta keluarganya. Orang mengenal Demokrat sebagai partai yang tumbuh besar dengan bergantung pada figur SBY, baik sebelum maupun setelah ia menjabat presiden. Membayangkannya sebagai dua entitas terpisah adalah hampir-hampir mustahil.
Di sisi lain, Moeldoko, dalam kacamata publik, merepresentasikan dua hal sekaligus. Pertama, ia adalah anasir asing yang tak pernah hinggap sebagai referensi pemimpin partai politik. Namanya mendadak melesat hanya dalam hitungan hari karena dituduh merencanakan "kudeta" oleh Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono.
Kedua, dalam kapasitas pejabat negara di lingkaran presiden, Moeldoko membawa serta atribut sebagai representasi presiden itu sendiri. Di sinilah sebuah kemustahilan politik di negara demokrasi diwujudkan dengan banal: penaklukan paksa partai oposisi yang diperagakan oleh salah satu (dan mungkin juga dibantu oleh beberapa) perangkat rezim berkuasa. Risiko besar segera tampak di depan mata dengan ambruknya timbangan kekuatan politik dan mengendurnya kontrol atas trayektori kekuasaan.
Di Luar Pagar
Dalam peta politik mutakhir, Partai Demokrat adalah minoritas oposisi yang berdiri di luar pagar pemerintah bersama-sama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Peta ini lahir pasca-Pemilihan Umum 2019 ketika wacana politik yang muncul adalah hiruk-pikuk koalisi, pertemuan Jokowi-Prabowo di atas kereta cepat, dan narasi-narasi rekonsiliasi politik. Posisi tiga partai tersebut, dari total sembilan partai di Dewan Perwakilan Rakyat, secara langsung menunjukkan bahwa sikap dan pilihan sebagai oposisi yang mengontrol pemerintah adalah pilihan yang sama sekali tidak menarik. Oposisi seolah-olah hanyalah sekoci terakhir yang terpaksa dipilih. Sebuah pil pahit yang suka atau tidak suka mesti ditenggak.
Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah keperluan dan motivasi macam apa yang berada di balik usaha penaklukan Partai Demokrat. Ini adalah pertanyaan besar dengan segala kemungkinan jawaban. Beberapa pihak melempar prediksi bahwa ini adalah eksperimen untuk menjauhkan Agus Harimurti dari bursa calon presiden dalam pemilihan umum 2024, menekan kritik deras Demokrat di DPR terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, atau soal-soal lain. Tapi satu hal yang demikian jelas adalah bahwa oposisi telah dilihat sebagai beban yang tak lagi bisa ditoleransi dengan kompromi, sehingga satu-satunya resep yang tersisa adalah dengan membajaknya dari luar.
Terlepas dari ihwal debat legalitas-administratif atas kongres luar biasa Partai Demokrat yang menahbiskan Moeldoko sebagai ketua umum baru, penaklukan Demokrat ini menyumbang kesan bahwa mereka yang berada "di luar pagar" bisa dan dapat dinihilkan. Situasi ini tak dapat dicampakkan begitu saja atas nama imajinasi pemerintahan yang stabil—sesuatu yang usang dan kerap bersayap dalam kaidah politik otoritarian Orde Baru.
Berada di luar sistem sebenarnya bukan berarti menggerogoti kekuasaan, melainkan mendorong dan secara terus-menerus menawarkan pandangan alternatif dari sudut yang berseberangan. Dengan kata lain, menyapu kemungkinan konflik dengan cara merangkul sehabis-habisnya kelompok oposisi, atau, dalam kasus Demokrat, membajaknya secara total, justru menjauhkan kita semua dari keelokan yang dikehendaki demokrasi. Negara akan tampak demikian datar dan satu dimensi, tanpa konjungtur kritik, diskusi, dan dialektika. Situasi ini tidak lain adalah pengulangan belaka dari apa yang dulu pernah bersemayam dalam sejarah kelam politik Indonesia di bawah Orde Baru.
Ironisnya, partai penguasa DPR yang menaungi presiden hari ini, PDI Perjuangan, adalah partai yang sebenarnya memiliki ingatan cukup baik atas trauma politik kongres partai tersebut di Medan pada 1996. Orde Baru mengintervensi kongres itu dengan intimidasi militer, termasuk memaksakan pilihan ketua umum kepada Soerjadi (Eklof 2003; Aspinall 2005). Suhu politik mendidih dan berpuncak pada penyerbuan dan pengambilalihan kantor PDI Megawati oleh massa Soerjadi pada 27 Juli 1996, yang populer dikenang sebagai "Kudatuli" atau Kerusuhan Dua Tujuh Juli. Peristiwa berdarah ini, jika dibaca dan dibandingkan dengan kasus sekarang, diilhami oleh semangat kekerasan politik yang kurang-lebih mirip: kengototan untuk mencabut paksa segala anasir yang dipandang berbeda atau mengancam.
Dengan majunya Jenderal Purnawirawan Moeldoko ke kursi puncak Partai Demokrat, ada kecemasan bahwa kita sungguh-sungguh akan kembali ke era militerisme. Beberapa analis, misalnya Honna (2020) dan Fealy (2020), memberi bukti-bukti mutakhir bahwa ekspansi peran militer yang semakin kuat pada situasi sekarang bukanlah menandai bangkitnya otoritarianisme, melainkan lebih pada upaya Jokowi untuk memperkuat pemerintah. Meski terdengar sedikit menenangkan, analisis itu masih harus ditunda sambil melihat dinamika di depan mata yang berlangsung cepat dan sering tak terduga. Dinamika ini masih dapat berbelok tajam, tapi kecemasan terulangnya fasisme politik dalam sistem politik kita tetap harus diperhatikan, karena nihilnya oposisi berarti akan mengulang kembali dosa Orde Baru di masa lampau.
Konsolidasi ke kapal kekuasaan mungkin memberi keuntungan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Tapi ia menukar harga diri, janji, dan pengharapan bagi generasi kelak. Ini sebuah perjudian politik yang sangat berbahaya.