Usman Hamid
Pendiri Public Virtue, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Banyak pihak berargumen bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak perlu direvisi, karena sebenarnya "di atas kertas" isinya sudah baik. Kenyataannya, "di atas kertas" saja undang-undang itu masih banyak kekurangan, apalagi ketika melihat penerapan di lapangan.
Pemerintah harus membuka mata untuk memastikan bahwa penerapan UU ITE tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Caranya, pasal-pasal karet dalam undang-undang itu—yang sudah beberapa kali menghadapi proses uji materi di Mahkamah Konstitusi tapi tak membuahkan hasil—perlu direvisi.
Perlu ditegaskan di sini bahwa suara-suara yang mendesak adanya revisi atas undang-undang tersebut tidak bermaksud untuk membolehkan kebebasan yang tanpa batas, sebagaimana kerap kali disalahpahami kelompok pembela undang-undang itu. Para pendukung revisi sadar bahwa kemerdekaan berpendapat dan berekspresi bukanlah hak-hak yang bersifat absolut atau tidak bisa dibatasi.
Masalahnya, pasal-pasal mengenai pencemaran nama dan penistaan berbasis suku, agama, dan ras dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah bermasalah sejak dari rumusan legalnya. Pasal-pasal itu terlalu lentur dan penerapannya sebenarnya tidak diperlukan bagi masyarakat yang demokratis. Tindakan aparat keamanan dan penegak hukum yang kerap menangkap atau menahan juga tidak proporsional, sehingga pembatasan atas hak untuk berekspresi dan berpendapat itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal-pasal karet
Setidaknya ada tiga pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan kerap berbenturan dengan kemerdekaan berekspresi serta berpendapat dalam undang-undang tersebut. Pertama, Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan/pencemaran nama. Kedua, Pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ketiga, Pasal 29 tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
Pasal 27 ayat 3, misalnya, menyatakan salah satu perbuatan yang dilarang adalah, "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Ayat ini terlalu longgar karena karena mengandung definisi yang terlalu umum, yakni "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Ketentuan ini tidak membedakan mana jenis komunikasi yang bersifat publik dan mana komunikasi yang bersifat privat.
Pembedaan ini penting karena setiap perangkat teknologi informasi memiliki jangkauan siar yang berbeda-beda. Ada yang daya penyebaran pesannya terbatas, seperti pesan pendek (SMS) dan surat elektronik (e-mail). Ada pula yang lebih luas jangkauannya, seperti Facebook dan Twitter. Namun penegak hukum menafsirkan kedua hal itu sama sehingga komunikasi yang bersifat privat dan terbatas seperti SMS pun dapat dinilai melanggar ayat tersebut.
Di Sulawesi, misalnya, seorang warga Selayar yang mengkritik seorang kepala daerah melalui pesan SMS justru dilaporkan kepada polisi dan ditahan. Pendapat kritis seorang warga Gowa dalam percakapan terbatas di Line juga berujung pemenjaraan. Ada pula seorang warga Makassar yang mengunggah status kritis via ponselnya digeruduk dan dipenjara. Kasus-kasus semacam ini juga terjadi di daerah lain.
Kasus-kasus semacam itu umumnya tidak dilaporkan langsung oleh sang pejabat, melainkan oleh orang lain, termasuk pendukungnya. Padahal, dalam hukum, ada prinsip hubungan sebab-akibat (causaal verband) bahwa pihak pengadu harus memiliki kerugian langsung. Dalam hukum, ada pula asas "point d’interest, point d’action" bahwa tiada gugatan tanpa kepentingan hukum. Hal ini seharusnya menjadi syarat utama bagi dapat atau tidaknya mengkriminalkan seseorang. Semua itu diabaikan karena rumusan pasalnya kabur (obscuur libel).
Masalah pemidanaan
Kategori penghinaan dan pencemaran nama juga tidak jelas. Padahal soal ini sebenarnya telah diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang juga bermasalah karena hal ini seharusnya tidak perlu menjadi urusan negara melalui bentuk-bentuk pemidanaan. Banyak negara telah menghapus pemidanaan atas tindakan yang dianggap menghina atau mencemarkan nama, dan membatasinya pada urusan hukum keperdataan.
Kalaupun tetap diletakkan sebagai tindak pidana, ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sangatlah longgar dibandingkan dengan enam jenis penghinaan yang diatur oleh KUHP, yaitu penistaan, penistaan dengan surat, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan palsu, dan perbuatan fitnah. Penistaan dan penistaan dengan surat diatur dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP. Supaya dapat dihukum, menurut pasal ini, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara "menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu" dengan maksud agar tuduhan itu diketahui oleh orang banyak.
Namun perbuatan itu tidak dapat dihukum apabila tuduhan tersebut dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri, sebagaimana digariskan oleh Pasal 312 KUHP. Apabila, saat diperiksa oleh hakim, terdakwa yang melanggar pasal tersebut tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, dia tidak disalahkan menista lagi, melainkan dikenai Pasal 311 KUHP tentang fitnah.
Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain "menuduh suatu perbuatan" dapat dihukum dengan Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan. Penghinaan ringan bisa berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina atau dengan perbuatan, misalnya dengan meludahi orang.
Selain itu, Pasal 317 KUHP juga mengatur tentang pengaduan palsu atau pengaduan fitnah. Pemahaman umum dalam praktik hukum acara pidana menunjukkan bahwa seseorang dapat dikenai pasal ini jika dengan sengaja: i) memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri; ii) menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang (Sugandhi, 1980 halaman 337).
Dalam Pasal 318 KUHP, orang dapat diancam hukuman dengan pasal fitnah ini jika dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana. Ini misalnya dengan diam-diam menaruh suatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.
Akan tetapi pembedaan yang jelas ini tidak diterapkan dalam Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Semua digeneralisasi dalam satu pengertian saja: penghinaan/pencemaran nama. Undang-undang itu juga tidak secara eksplisit memberikan pengecualian untuk tuduhan yang dilakukan untuk membela diri.
Pembedaan aturan hukum atas penghinaan di dunia di luar Internet lewat Pasal 310-311 KUHP dan dunia siber lewat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Yang sudah jelas diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP bisa kembali dipersoalkan bila memakai Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mau dibawa ke mana?
Pemerintah telah membentuk tim pengkajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan membaginya menjadi dua. Tim pertama merumuskan kriteria penerapan pasal-pasal yang kerap dianggap karet. Adapun tim kedua menelaah beberapa pasal yang dianggap multitafsir dan menentukan apakah perlu direvisi atau tidak.
Namun, dengan menilik masalah pemidanaan dalam Pasal 27 ayat 3 saja, sudah jelas bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mutlak harus direvisi. Belum lagi kalau melihat Pasal 28 ayat 2 yang sering kali dipakai untuk menjerat orang karena keyakinan dan agamanya berbeda, dengan anggapan pernyataannya bisa dianggap sebagai kebencian kepada agama tertentu.
Kebutuhan revisi tak bisa ditambal dengan pedoman interpretasi ataupun surat edaran Kepala Polri. Belum lagi soal komposisi tim pengkajian revisi yang tidak menyertakan pihak-pihak independen, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Perempuan.
John C. Maxwell, penulis seri buku kepemimpinan, mengatakan bahwa pemimpin yang baik dapat dilihat dari niat baik mereka dan komitmen untuk melakukannya. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen untuk "menjunjung tinggi rasa keadilan masyarakat", seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo, dan terbuka untuk kritik yang "keras", seperti yang dikatakan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, hal itu tak cukup dibuktikan dengan basa-basi kemungkinan revisi UU ITE.
Rencana revisi juga harus diikuti dengan langkah konkret, seperti membebaskan mereka yang sudah dipidanakan dengan UU ITE hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai. Pemidanaan lanjutan terhadap aktivis-aktivis politik KAMI, seperti Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan, semata-mata karena mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja di media sosial, misalnya, bertentangan dengan klaim pemerintah yang tidak ingin masyarakat takut mengutarakan pendapat.
Kalau di atas kertas saja pemerintah tidak bisa menunjukkan komitmennya terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, bagaimana kita bisa percaya komitmennya di dunia nyata?