Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan setelah terbitnya Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. Peraturan itu menjelaskan struktur kelembagaan KPK baru yang semakin membengkak. Kebijakan tersebut diyakini akan semakin menambah daftar panjang kontroversi yang dihasilkan oleh pimpinan lembaga antirasuah.
Sebelumnya, bidang kerja KPK diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang meliputi penindakan, pencegahan, informasi dan data, serta pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. Bidang kerja tersebut kemudian diejawantahkan menjadi kedeputian yang membawahkan beberapa direktorat. Saat undang-undang itu direvisi pada 2019, ayat tersebut tidak diubah.
Peraturan Komisi yang baru terbit itu memasukkan jabatan-jabatan baru, seperti inspektorat dan staf khusus bagi pimpinan. Dalam Pasal 83 dan 84 aturan tersebut dijelaskan bahwa inspektorat memiliki fungsi pengawasan internal kelembagaan yang juga meliputi penegakan aturan disiplin kepegawaian. Jabatan baru ini berpotensi tumpang-tindih dengan Dewan Pengawas, yang juga memiliki kewenangan serupa. Selain itu, inspektorat mempunyai tugas berupa melakukan eksaminasi putusan pengadilan. Hal ini janggal. Apa hubungan antara fungsi pengawasan dan eksaminasi putusan? Bukankah lebih tepat eksaminasi dikerjakan oleh Biro Hukum KPK?
Jabatan staf khusus pun punya masalah sendiri. Pasal 75 dan 76 Peraturan Komisi menyatakan bahwa staf khusus merupakan pegawai yang memiliki keahlian khusus yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Pada waktu yang sama, Pasal 11 ayat (1) Peraturan KPK Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia telah menjelaskan bahwa rekrutmen dan seleksi pegawai KPK didasarkan pada kompetensi, termasuk pimpinan. Calon pimpinan KPK harus memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Atas dasar ini, untuk apa dipaksakan mengangkat staf khusus yang memiliki keahlian tertentu bagi pimpinan KPK? Bukankah lebih baik memberdayakan para pegawai saja?
Pimpinan KPK berdalih bahwa pembentukan staf khusus guna menggantikan peran penasihat yang telah dihapus dalam Undang-Undang KPK baru. Alasan ini sulit diterima akal sehat karena peran penasihat telah digantikan oleh Dewan Pengawas.
Selain substansi aturan, hal lain yang menarik untuk disoroti adalah postur birokrasi baru KPK. Alih-alih mengikuti arahan pemerintah untuk merampingkan struktur birokrasi, yang terjadi justru sebaliknya. Peraturan Komisi malah menambah 19 jabatan baru. Dengan postur sebesar ini, banyak pihak meyakini kinerja KPK nanti akan semakin tidak efektif dan efisien.
Belum lagi soal pemborosan anggaran. Penambahan jabatan baru akan memperbesar anggaran. Namun kecenderungan pemborosan anggaran bukanlah hal baru di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Sebelumnya pun KPK sudah melemparkan rencana kenaikan gaji pimpinan dan pembelian mobil dinas mewah bagi pejabat tingginya.
Lazimnya, kenaikan anggaran semestinya diikuti dengan peningkatan kinerja. Namun yang terjadi pada KPK justru sebaliknya. Misalnya, di sektor penindakan, terhitung sejak pimpinan dilantik pada Desember 2019 hingga Juli tahun ini, KPK baru melakukan tiga operasi tangkap tangan. Jumlah itu terbilang rendah jika dibandingkan dengan era Agus Rahardjo yang pada awal kepemimpinannya melakukan sembilan kali operasi.
Berbagai masalah peraturan KPK ini akan semakin membuka celah bagi masyarakat untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung. Jika nantinya hal itu dikabulkan, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis kepada KPK. Apalagi pada tahun ini setidaknya sudah empat lembaga survei yang mengkonfirmasi skeptisisme tersebut.
Peraturan Komisi ini semakin memperlihatkan bahwa pimpinan KPK telah gagal dalam menemukan solusi atas permasalahan yang selama ini mendera lembaga itu. Sumber masalah utamanya sesungguhnya tidak terkait dengan kompetensi, melainkan komitmen di pimpinan. Untuk itu, Dewan Pengawas harus segera memanggil pimpinan untuk dimintai penjelasan mengenai peraturan Komisi baru ini. Bila perlu, Dewan menegur pimpinan karena telah secara serampangan membuat peraturan. Jika tidak, citra KPK akan semakin luntur di mata publik. •