maaf email atau password anda salah


Agenda Terselubung Menghapus Larangan Prajurit Berbisnis

Diduga ada kepentingan lebih besar di balik usulan penghapusan larangan prajurit berbisnis. Berbahaya bagi profesionalisme TNI.

arsip tempo : 172651342615.

Anggota TNI mengikuti parade defile dalam gladi bersih upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-77 TNI AU 2023, di Jakarta, 6 April 2023. TEMPO/Imam Sukamto . tempo : 172651342615.

PEGIAT demokrasi menduga ada agenda terselubung di balik rencana penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka menduga rencana penghapusan larangan tersebut tidak sekadar untuk memberikan ruang bagi prajurit TNI membuka warung, juga untuk melegalkan bisnis pengamanan ilegal TNI pada industri ekstraktif di sejumlah wilayah.

“Warung kelontong jadi alasan. Padahal ada agenda tertentu,” kata peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, saat dihubungi pada Selasa, 16 Juli 2024.

Usulan agar prajurit TNI diperbolehkan berbisnis disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro dalam forum “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Juli 2024. Diskusi itu sekaligus merespons polemik revisi Undang-Undang TNI yang menjadi usulan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. 

DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi usulan inisiatif mereka pada 28 Mei lalu. Dalam draf revisi itu, ada dua pasal yang akan diubah, yaitu Pasal 47 dan 53. Pasal 47 memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil. Misalnya Pasal 47 ayat 2 mengatur bahwa prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil di semua kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden. Sebelumnya, prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan sipil di sepuluh kementerian atau lembaga yang memang sejalan dengan peran dan fungsi TNI. Lalu dalam Pasal 53, DPR hendak menambah usia pensiun prajurit TNI menjadi 58 tahun. 

Presiden Joko Widodo merespons revisi itu dengan menyerahkan surat presiden ke pimpinan DPR, pekan lalu. Dari sana terungkap bahwa pemerintah mengusulkan agar Pasal 39 huruf c Undang-Undang TNI dihapus. Pasal itu mengatur larangan bagi TNI berbisnis. 

Mahasiswa berunjuk rasa di depan kantor Wali Kota Bandung, Jawa Barat, 1 Juli 2024. TEMPO/Prima Mulia

Kresno Buntoro mengatakan usulan penghapusan pasal tersebut berasal dari institusinya. Ia beralasan keberadaan pasal itu menutup akses bagi prajurit TNI untuk membuka warung.

“Semestinya yang dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis. Tapi kalau prajurit, orang mau buka warung aja ndak boleh,” kata Kresno.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar mengklaim, meski berbisnis, prajurit TNI akan tetap profesional dalam melaksanakan tugas pokoknya menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Ia mengatakan usulan itu muncul atas pertimbangan prajurit TNI yang memiliki banyak usaha.

“Pertimbangannya, ada prajurit yang punya usaha pertanian, peternakan, perkebunan, dan warung kelontong,” kata Nugraha, kemarin.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan pasal tentang larangan prajurit TNI berbisnis didasarkan pada pengalaman pada masa Orde Baru. Saat itu TNI terlibat dalam politik dan bisnis. Keterlibatan militer dalam dua aspek tersebut mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil. “Pun membuat militer tidak profesional,” kata Al Araf, kemarin.

Ia menjelaskan, setelah reformasi, TNI dilarang berpolitik dan berbisnis. Mereka wajib kembali ke barak atau menjalankan fungsinya di bidang pertahanan negara. Militer dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk menghadapi perang serta bertugas menjaga kedaulatan negara. Karena itu, kata Araf, usulan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit akan mengganggu profesionalisme TNI. 

“Itu memperlemah tugas militer menjaga pertahanan karena tugasnya menjadi ganda,” ujar Al Araf.

Richard Robinson dalam bukunya, Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (2012), menjelaskan, meleburnya militer dalam politik dan ekonomi Indonesia diawali perintah Panglima TNI Abdul Haris Nasution pada 1950-an. Nasution meminta semua perusahaan Belanda yang diambil alih oleh kaum buruh harus segera diserahkan dan dikelola oleh militer. Saat Undang-Undang Nasionalisasi diterbitkan pada 1958, TNI, khususnya Angkatan Darat, menguasai bank-bank serta beberapa perusahaan perkebunan dan pertambangan bekas milik Belanda.

Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, menjamur grup-grup perusahaan yang dikelola oleh kalangan militer. Mereka menguasai dan mengelola berbagai bidang usaha, dari perusahaan otomotif hingga konsesi hutan. Richard menilai pengelolaan akumulasi kapital itu digunakan untuk kepentingan politik militer sendiri.

Indria Samego dalam buku Bila ABRI Berbisnis (1998) mengungkapkan bahwa bisnis di lingkungan militer awalnya memang hanya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan operasi yang tidak terdukung secara layak oleh pemerintah. Namun, dalam perjalanannya, keterlibatan militer dalam bisnis kian berkembang.

Semasa Orde Baru, tentara aktif ataupun pensiunan tersebar menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan swasta hingga badan usaha milik negara. Pada masa itu juga muncul berbagai yayasan dan koperasi yang dikelola secara langsung ataupun tak langsung oleh TNI. Hampir setiap kesatuan memiliki induk koperasi yang menguasai berbagai lahan bisnis. Sebut saja Koperasi Baret Merah (Kobame) milik Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat, Induk Koperasi Angkatan Darat, dan Induk Koperasi Angkatan Laut.

Namun bisnis militer mulai berkurang menjelang reformasi 1998. Setelah larangan berbisnis diteken dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI dipaksa menyerahkan lahan bisnisnya kepada pemerintah. Sejak saat itu, haram bagi TNI untuk berurusan dengan bisnis.

Aktivis sipil menilai keterlibatan TNI dalam bisnis akan menciptakan iklim yang tidak adil. Karena itu, melarang TNI berbisnis menjadi salah satu agenda reformasi 1998. “Gerakan reformasi menuntut TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional,” kata Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra saat dihubungi, kemarin.

Dia juga menilai keterlibatan TNI dalam bisnis sangat berbahaya. Militer, kata dia, memiliki kewenangan mendapat informasi rahasia dan menggunakan sumber daya strategis. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional. “Kewenangan itu bisa mengancam kepentingan nasional,” kata Ardi.

Bahkan pegiat HAM menilai ada maksud lain di balik usulan penghapusan larangan berbisnis militer. Alasan anggota TNI membuka warung dianggap tidak bisa menjadi argumentasi penghapusan larangan berbisnis. Membantu anggota keluarga membuka warung tidak berhubungan dengan sistem komando TNI. “Hal itu berbeda konteks dengan norma Pasal 39 soal larangan berbisnis,” kata peneliti dari Setara Institute, Ikhsan Yosarie, kemarin.

Menurut Ikhsan, usulan itu memberikan jalan bagi militer untuk terlibat dalam aktivitas bisnis berskala besar. Penghapusan larangan berbisnis juga berpotensi menjerumuskan TNI ke praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi penyokong sebuah entitas bisnis atau melakukan bisnis pengamanan.

Sementara itu, Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan membuka pintu bagi militer melakukan bisnis pengamanan akan berbahaya bagi masyarakat di wilayah konflik agraria. Dengan kewenangan dan senjata yang dimiliki militer, masyarakat bisa menjadi korban kekerasan. “Kalau dilegalkan, potensi penggunaan kekuatan untuk mengamankan mereka akan makin besar,” kata Ghufron saat dihubungi, kemarin.

Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2023 mencatat TNI menjadi salah satu pelaku kekerasan dalam konflik agraria. Dari 241 kasus, TNI terlibat dalam 19 kasus kekerasan di wilayah konflik agraria.

Ghufron mengatakan, bila fokus usulan penghapusan berbisnis adalah soal kesejahteraan, yang mesti dilakukan TNI adalah mengefisienkan pos-pos anggaran yang tidak efektif. “Kelebihan anggaran itu kemudian dialokasikan untuk kesejahteraan prajurit, seperti peningkatan gaji, tunjangan, hingga fasilitas,” kata Ghufron, kemarin.

Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Konten Eksklusif Lainnya

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024

  • 13 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan