maaf email atau password anda salah


Alarm Politik Transaksional Revisi UU Desa

Pegiat mengkritik DPR dan pemerintah yang melanjutkan pembahasan revisi UU Desa sebelum pemilu. Ada politik balas budi.

arsip tempo : 172809617274.

Rapat penyusunan perubahan UU Desa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 27 Juni 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis. tempo : 172809617274.

JAKARTA – Sejumlah pegiat demokrasi dan ahli hukum tata negara mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah yang melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Desa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pada saat bergejolaknya situasi politik menjadikan hasilnya sarat akan kepentingan politik.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Nurcahyadi Suparman mengatakan pembahasan menjelang pemilu menyebabkan rawan akan terjadinya politik transaksional. Hal yang menjadi tuntutan asosiasi kepala desa terhadap revisi UU Desa akan menjadi barter politik kepada legislator dan pemerintah. “Proses ini menutup akses bagi kita untuk menjalankan pemilu yang bersih dan demokratis,” ujar Herman Nurcahyadi Suparman—sering disebut Armand—saat dihubungi pada Selasa, 6 Februari 2024.

Armand khawatir tidak terlaksananya pemilu yang bersih dan demokratis menyebabkan menurunnya kualitas demokrasi dan kepercayaan publik kepada negara. DPR dan pemerintah semestinya melanjutkan pembahasan revisi UU Desa setelah Pemilu 2024.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat menerima perwakilan Apdesi di ruang rapat Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Jakarta, 5 Juli 2023. dpr.go.id/Runi/nr

Selain menghindari politik transaksional, menurut dia, DPR dan pemerintah punya waktu lebih banyak untuk mengkaji secara mendalam jika pembahasan dilakukan setelah pemilu. DPR dan pemerintah bisa menyelisik hal apa saja yang perlu direvisi dalam Undang-Undang Desa.

Menimbang Indeks Desa Membangun, pembangunan desa tercatat naik signifikan setelah Undang-Undang Desa versi saat ini diberlakukan. “Artinya, kucuran dana dan masa jabatan kepala desa dengan UU Desa saat ini sebenarnya sudah membantu untuk membangun desa dari ketertinggalan,” ujarnya.

Pembahasan lanjutan revisi UU Desa bermula dari rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan sejumlah kementerian pada Senin lalu, 5 Februari 2024. Baleg DPR bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Desa menggelar rapat pembahasan revisi UU Desa.

Rapat yang dipimpin Ketua Panitia Kerja Achmad Baidowi ini menyepakati sejumlah perubahan pasal, salah satunya masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dan maksimal dua periode. Rapat tersebut juga menyepakati sejumlah poin perubahan, antara lain peningkatan dana desa maksimal 10 persen per tahun. Selain itu, proses pemilihan kepala desa dengan sistem calon tunggal; dan distribusi anggaran desa yang langsung didistribusikan kepada kepala desa, tidak lagi melalui pemerintah kabupaten/kota.

Anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, mengatakan pembahasan tersebut mempertimbangkan masuknya surat dari Presiden setelah DPR menjadikan revisi ini sebagai usul inisiatif. Maka diputuskan pembahasan dilanjutkan sebelum pemilu rampung. “Ini agar tidak ada gejolak. Kepala desa juga terus monitor perkembangannya,” kata Firman. “Toh, pasal yang diubah juga tidak banyak.”

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan pengesahan tingkat I revisi UU Desa oleh Baleg DPR dan pemerintah tidak akan serta-merta memajukan pemerintahan desa. Menurut dia, hal yang termaktub dalam draf revisi tidak sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan pembangunan desa. “Apa yang menjadi tuntutan kepala desa malah berpotensi menghancurkan, bukan memajukan,” ucap Isnur. Dia menyinggung disepakatinya tuntutan kepala desa ihwal masa jabatan, peningkatan anggaran, dan distribusi anggaran desa.

Inkonsistensi dan Balas Budi

Di hadapan sejumlah kepala desa di Klaten, Jawa Tengah, pada Rabu pekan lalu, 31 Januari 2024, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan pembahasan revisi UU Desa dilakukan setelah Pemilu 2024. “Saat rapat paripurna, kami sudah sepakat, karena situasinya sedang pemilu,” kata Puan. Alasannya, untuk menghindari konflik kepentingan dan agar kepala desa tidak terseret politisasi pada Pemilu 2024. “Saya sebagai Ketua DPR enggak mau kepala desa ditarik ke sana-sini.”

Ketua DPR RI Puan Maharani memberi keterangan setelah menerima perwakilan dari 21 organisasi perangkat desa yang menyampaikan aspirasinya soal revisi Undang-Undang Desa di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, 6 Februari 2024. dpr.go.id/Geraldi/nr

Namun Baleg DPR dan pemerintah melanjutkan rapat pembahasan pada Senin lalu, 5 Februari 2024. Seorang politikus DPR menuturkan inkonsistensinya sikap Puan terhadap revisi UU Desa. Menurut politikus tersebut, Ketua DPP PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) itu bersedia melanjutkan pembahasan revisi UU Desa di tengah proses pemilu karena khawatir kantong suara PDIP di sejumlah desa, khususnya di Jawa Tengah, berpindah haluan kepada politikus dan partai lain.

Apalagi gabungan delapan organisasi kepala desa dan perangkat desa se-Indonesia sempat menyampaikan aspirasinya kepada pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Acara itu digelar dalam Silaturahmi Nasional Desa Bersatu pada November 2023. Delapan organisasi kepala desa tersebut adalah Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Asosiasi Kepala Desa Indonesia (Aksi), Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas), Parade Nusantara, Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI), PP PPDI, dan Komunitas Purnabakti Kepala Desa Seluruh Indonesia (Kompakdesi).

Mereka juga masif berdemo di depan Gedung DPR. Massa yang tergabung dalam Apdesi menggelar aksi demonstrasi di Gedung DPR pada Rabu pekan lalu. Ratusan kepala desa kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pada Selasa pagi. Mereka menagih janji DPR untuk mengesahkan revisi UU Desa, yang salah satu poin krusialnya adalah memperpanjang masa jabatan para kepala desa.

Seorang anggota Baleg DPR menuturkan, sebelum meminta alat kelengkapan DPR itu melanjutkan pembahasan revisi UU Desa, Puan sempat bertemu dengan Ketua Baleg Supratman Andi Agtas pada Kamis, 1 Februari 2024. Dari pertemuan tersebut, diduga kuat terjadi kongkalikong antara Puan dan Supratman agar pembahasan dapat terlaksana sebelum Pemilu 2024. “Pertemuannya di DPR, sehari setelah para kepala desa menggelar aksi demo,” ujar sumber itu.

Supratman Andi Agtas belum menjawab pesan upaya konfirmasi yang dikirim Tempo melalui nomor telepon selulernya. Hingga tadi malam, pesan upaya konfirmasi tersebut hanya menunjukkan notifikasi terkirim.

Dalam kesempatan terpisah, seorang kepala desa mengatakan menemui Puan di Gedung DPR sebelum paripurna masa reses penutupan masa persidangan III DPR. Dalam pertemuan tersebut, kata kepala desa itu, cucu Presiden Sukarno tersebut meminta kepala desa membantu pemenangannya dalam kontestasi elektoral 2024. Dilanjutkannya pembahasan revisi UU Desa dalam rapat paripurna tingkat I disebutnya sebagai balas budi. “Kami diminta menangkan Puan dan PDIP,” ujar kepala desa itu.

Melalui staf khususnya, Budiono, Puan mengirim jawaban tertulis. Dalam jawabannya, dikatakan bahwa keputusan untuk melanjutkan pembahasan revisi UU Desa guna menjaga kondusivitas dan menghindari konflik kepentingan. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP itu juga meminta kepala desa mendukung pelaksanaan Pemilu 2024, sambil menunggu pengesahan revisi UU Desa dalam rapat paripurna tingkat I.

Hal Lebih Penting Dibanding Revisi UU Desa

Menanggapi hal itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan pelik memahami jalan pikir para legislator. Menurut dia, DPR dan pemerintah semestinya tidak hanya mengebut pembahasan revisi UU Desa, tapi juga mempercepat pembahasan hal yang lebih penting. Dia menyebutkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, atau RUU Masyarakat Hukum Adat. Ketiga RUU itu sama-sama masuk Program Legislasi Nasional DPR. “Sulit untuk tidak mengatakan revisi ini sarat dengan politik transaksional,” ujar Herdiansyah.

Herdiansyah menilai, terjadinya praktik politik transaksional antara kepala desa dan pimpinan DPR menjadi upaya melanggengkan autocratic legalism, fenomena penegakan hukum diarahkan untuk memperbesar kekuatan eksekutif dan menghapus akuntabilitas yang dapat mengarah pada rezim otoriter. Menurut dia, autocratic legalism menjadikan undang-undang disandera kepentingan elite politik, bukan kepentingan rakyat. “Dampaknya, legitimasi pemilu kita dipertaruhkan dengan cara buruk dan penuh kecurangan,” ujarnya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan politik transaksional antara pimpinan DPR dan kepala desa membuahkan hasil buruk terhadap kualitas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap parlemen. Menurut Lucius, masyarakat tidak akan lagi mempercayai DPR karena praktik lancung ini. “Hal yang terburuk, kita seperti memulai rezim yang otoriter. Tidak ada lagi keseimbangan di antara sistem pemerintahan,” kata Lucius.

ANDI ADAM FATURAHMAN

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Oktober 2024

  • 4 Oktober 2024

  • 3 Oktober 2024

  • 2 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan