JAKARTA – Beberapa pakar hukum meminta pemerintah menghapus dua pasal jika akan merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua pasal tersebut adalah Pasal 27 dan 28 UU ITE.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan setidaknya ada dua pasal dalam UU ITE yang seharusnya dihapus. Kedua pasal itu adalah Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Pasal 27 ayat 3 mengatur penyebaran informasi secara elektronik yang berisi konten pencemaran nama. Lalu Pasal 28 ayat 2 yang mengatur penyebaran informasi secara elektronik yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.
Abdul Fickar berpendapat, terdapat unsur yang tidak jelas secara substansi dan implementasi pada kedua pasal tersebut. Celah itu bisa digunakan untuk saling menuntut atau mengkriminalkan orang lain. “Ini menghambat dan melelahkan demokrasi,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Ia menyarankan agar pemerintah mengembalikan semangat Undang-Undang ITE seperti pada awal pembentukannya, yaitu mengatur urusan bisnis dan perdagangan secara daring. Karena itu, segala urusan tentang pencemaran nama, ujaran kebencian dan permusuhan, serta urusan suku, ras, dan antargolongan (SARA) tidak cocok dimasukkan ke UU ITE.
“Dalam bisnis tidak ada urusan dengan agama dan suku. Jadi, hal itu hanya mengaburkan substansi UU ITE,” ujarnya.
Menurut Abdul Fickar, berdasarkan pertimbangan sosiologis, UU ITE dibuat untuk mengimbangi globalisasi informasi melalui komunikasi elektronik. Jadi, pemerintah merasa perlu mengatur pengelolaan informasi, termasuk transaksi elektronik. Lalu ada kebutuhan pengaturan komunikasi dalam kegiatan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang berbasis daring. Keberadaan payung hukum tersebut diharapkan bisa mencegah penyalahgunaan manfaat teknologi informasi.
“Sehingga pengaturan tindak pidana umum yang dilakukan secara daring sekalipun tidak cocok dimasukkan dalam UU ini,” kata Abdul Fickar.
Gerai makanan menawarkan sistem pembayaran digital di Jakarta, 10 April 2019. Tempo/Tony Hartawan
Senada dengan Abdul Fickar, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, mengatakan semangat awal pembuatan UU ITE memang untuk melindungi masyarakat dalam transaksi elektronik. Saat undang-undang tersebut disusun, beragam media sosial dan transaksi daring perbankan berkembang di Tanah Air.
Menurut Bivitri, perumus UU ITE saat itu mempunyai pemikiran yang cukup visioner. Sebab, mereka sudah membayangkan kemajuan sistem informasi dan transaksi daring dalam beberapa tahun mendatang. Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak akan cocok diterapkan dalam urusan informasi dan transaksi daring.
Sebagai contoh, kata dia, KUHP memaknai bahwa transaksi sebuah barang identik dengan fisik nyata. Sedangkan kondisi barang dalam transaksi elektronik tidak kelihatan. “Jadi, semangat awal UU ITE itu bukan untuk membungkam orang pakai Pasal 27 dan 28 itu,” kata Bivitri.
Ia menduga para perumus UU ITE kurang hati-hati dalam menyusun kedua pasal bermasalah tersebut. Dampaknya, interpretasi terhadap kedua pasal ini menjadi sangat luas dan longgar. Saking longgarnya, percakapan dua orang di media sosial bisa dianggap sebagai ruang publik. Kondisi ini membuka peluang kriminalisasi terhadap seseorang.
Menurut Bivitri, keberadaan UU ITE membuat polisi dan jaksa bisa dengan mudah memperberat sanksi pidana seseorang. Padahal ada penentuan yang adil dalam menarik sanksi pidana seseorang yang terjerat pasal di KUHP dan Undang-Undang ITE. “Jadi, tidak bisa serta-merta ditambahkan masa hukumannya begitu saja,” katanya.
Bivitri juga menyarankan agar pemerintah dan DPR meniadakan Pasal 27 dan 28 jika jadi merevisi UU ITE. Sebab, kata dia, instruksi teknis atau pedoman pelaksanaan pasal-pasal karet itu tetap berpeluang diabaikan oleh penegak hukum.
“Kalau Presiden serius, harus siapkan tim untuk ubah UU ITE,” ujarnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muzakir, berbeda pendapat dengan Abdul Fickar dan Bivitri. Muzakir menyarankan agar Presiden Jokowi cukup membuat rangkaian pedoman bagi penyidik dan penuntut ketika menangani perkara UU ITE. Lalu Presiden wajib menegur Kapolri dan Jaksa Agung hingga ancaman pencopotan ketika anak buahnya serampangan menerapkan UU ITE.
“Jangan lupa minta Kapolri cabut peraturan tentang penanganan ujaran kebencian. Peraturan itu juga membahayakan publik,” kata Muzakir.
Menurut Muzakir, Presiden Jokowi dapat mencontoh keputusan Presiden Indonesia ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie, dalam menanggapi kritik dan penghinaan terhadap pejabat negara. Saat itu, Habibie memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk tidak memproses hukum masyarakat yang mengkritik pemerintah.
“Dengar materi kritiknya, jangan proses orangnya. Prinsipnya, jika ada yang menuntut pengkritik pemerintah, harus seizin presiden,” ucapnya.
Muzakir juga menyarankan agar pemerintah melibatkan Mahkamah Agung dalam membuat pedoman tersebut. Misalnya, Mahkamah Agung menyusun sejumlah parameter bagi hakim saat menyidangkan perkara UU ITE lewat surat edaran atau peraturan Mahkamah Agung.
“Kalau polisi dan jaksanya tidak beres, hakim bisa menghentikan proses hukumnya. Cara ini lebih mujarab,” kata Muzakir.
Sesuai dengan pengamatan Muzakir, selama ini mayoritas hakim terlalu mengekor pada tuntutan jaksa penuntut ketika menyidangkan perkara ITE. Ia mencontohkan kasus Baiq Nuril Makmun, guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baiq dilaporkan ke polisi lantaran merekam pembicaraan dirinya dengan kepala sekolah tempatnya bekerja yang berisi konten pornografi pada 2012. Ia pun divonis 6 bulan penjara. Namun Presiden Joko Widodo memberikan amnesti atau pengampunan kepada Baiq pada Juli 2019. “Kasus Baiq Nuril ini menjadi bukti kesalahan proses perkara UU ITE yang dilakukan polisi, jaksa, hingga hakim,” katanya. “Bahkan pemberian amnesti presiden juga salah. Baiq Nuril itu korban yang tidak seharusnya diproses.”