JAKARTA – Berdasarkan hasil survei, 71 persen masyarakat tidak tahu nomor telepon atau kontak yang dapat dihubungi untuk mengajukan pertanyaan dan pengaduan ihwal pelayanan kesehatan selama masa pandemi Covid-19. Survei ini diselenggarakan International Non-Governmental Organization Forum on Indonesian Development (INFID), bekerja sama dengan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Program Officer Sustainable Development Goals INFID, Bona Tua, mengatakan 71 persen masyarakat ini tidak mengetahui nomor pengaduan untuk layanan kesehatan jika mereka atau keluarganya terjangkit Covid-19. “Ini kurang baik, bagaimana kemudian nomor pengaduan dan akuntabilitas lebih dapat ditingkatkan,” kata dia dalam webinar nasional peluncuran survei warga dan riset organisasi masyarakat sipil, kemarin.
Ketika ditanya apakah dari hasil survei itu dapat diketahui hubungan sebab-akibat tidak adanya nomor pengaduan tersebut, misalnya apakah tidak adanya nomor kontak itu mengakibatkan masih banyak masyarakat yang merasa Covid-19 tidak ada atau tidak mempercayai vaksinasi, Bona menyatakan penelitian ini tidak menyasar ke sana. “Kami tidak melakukan itu. Namun memang salah satu masalah yang ditemukan adalah masih adanya masyarakat yang percaya Covid-19 bisa disembuhkan melalui jamu-jamuan atau berdoa saja,” ucap dia.
Selain itu, sebanyak 77 persen masyarakat mendapat informasi tentang Covid-19 dari stasiun televisi nasional. Menariknya, 55 persen masyarakat mengetahui informasi tentang Covid-19 dari grup WhatsApp. Sebanyak 41 persen mendapat informasi dari Facebook dan 38 persen dari Instagram.
Bona menilai acuan media sosial sebagai sumber informasi tentang Covid-19 patut dipertimbangkan pemerintah, lantaran media sosial juga menjadi salah satu sumber munculnya berita palsu. Dari survei ini diketahui juga bahwa mereka yang menggunakan media sosial sebagai sumber informasi tentang Covid-19 berpendidikan SMA ke atas dan berusia 40 tahun ke bawah.
Mereka yang berpendidikan SMA ke bawah dan berusia di atas 40 tahun mendapat informasi tentang Covid-19 dari stasiun televisi dan radio. Bona menambahkan, pemerintah perlu memastikan jangkauan informasi kepada mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan akses terhadap teknologi yang rendah.
Bona menyampaikan sebanyak 46 persen warga menemui petugas rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) jika ingin mengadu berbagai hal tentang Covid-19, sehingga penguatan kapasitas para petugas di perangkat RT/RW diperlukan. Pemerintah, kata dia, bisa melibatkan aktor-aktor non-pemerintah untuk melakukan tugas ini, utamanya kelompok-kelompok masyarakat sipil yang bekerja di wilayah itu.
Survei ini dinamai Survei Warga Layanan Pemerintah Selama Pandemi Covid-19. Survei dilakukan terhadap 2.201 responden di 34 provinsi dengan margin of error sebesar 2,5 persen. Data dikumpulkan melalui wawancara via telepon, yang dipandu dengan kuesioner dan dilakukan pada Agustus-September 2020.
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri, Kastorius Sinaga, mengatakan, jika ada kabar tentang warga sulit mendapatkan informasi soal Covid-19 pada periode Maret-April 2020, hal itu sangat mungkin. Ia berujar, justru setelah periode itu, informasi mengenai Covid-19 sangat membanjiri masyarakat.
Menurut Kastorius, sumber informasi tentang Covid-19 bisa berasal dari Satgas Penanganan Covid-19 pusat yang situs webnya bisa diakses selama 24 jam. Bahkan satgas juga memiliki jangkauan sampai ke tingkat RT/RW. “Kami keliling ke beberapa daerah menemukan satgas di tingkat bawah dan ada unsur relawannya yang membantu penegakan disiplin,” kata dia dalam webinar yang sama, kemarin.
Kastorius mengimbuhkan, banyak juga media massa daring yang telah memiliki dasbor mengenai Covid-19 di situs web dan juga media sosialnya. Ia merasa sebenarnya informasi perihal Covid-19 sudah cukup di masyarakat. Dia justru mengajak berbagai kelompok masyarakat sipil menangkap peluang di tengah pandemi untuk berkolaborasi dengan pemerintah, lantaran ada begitu banyak program pemerintah yang membutuhkan peran serta kelompok masyarakat sipil.
Senada dengan Kastorius, Deputi Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Slamet Soedarsono, mengatakan peran organisasi masyarakat sipil dibutuhkan pemerintah. Ia memandang organisasi masyarakat sipil lebih independen dan obyektif dalam memberikan informasi yang dihasilkan.
Namun, kata Slamet, bukan berarti pemerintah tidak mengevaluasi kerja yang dilakukan ataupun tidak memantau programnya. Ia mengimbuhkan, pelaksanaan riset seperti ini penting bagi pemerintah guna memberikan gambaran kondisi masyarakat dan menjadi rekomendasi untuk menyusun kebijakan. “Ini menjadi temuan penting. Terlihat soal keterbukaan dan keterjangkauan akses informasi masih menjadi tantangan utama. Perlu ditingkatkan,” kata dia, kemarin.
DIKO OKTARA