JAKARTA – Jumlah pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah tahun ini meningkat signifikan dibanding pemilihan serentak terdahulu. Penyebab peningkatan ini diduga adalah syarat pencalonan yang menyulitkan, baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan syarat pencalonan, seperti minimal jumlah dukungan partai ataupun penduduk, mengakibatkan adanya fenomena "borong partai" atau satu pasangan calon didukung mayoritas partai pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Pilkada, syarat pencalonan adalah minimal didukung 20 persen dari partai pemilik kursi di DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah partai di pemilu legislatif. Lalu syarat pencalonan jalur perseorangan adalah minimal memperoleh dukungan 6,5-10 persen dari total daftar pemilih tetap.
"Pilkada yang hanya diikuti calon tunggal tidak ideal dalam demokrasi," kata Khoirunnisa, kemarin.
Khoirunnisa menjelaskan bahwa hakikat demokrasi adalah adanya kompetisi dalam pemilu. Namun kompetisi itu tidak terjadi jika pilkada di suatu daerah hanya diikuti satu pasangan calon. Masyarakat juga tak mempunyai alternatif pilihan dalam pemilihan.
Ia berpendapat, penyebab lain meningkatnya jumlah calon tunggal dalam pilkada diduga adalah kaderisasi partai yang gagal menghadirkan pemimpin. Sebab, ketika partai tidak memiliki kader yang siap dicalonkan, mereka akan mengusung berdasarkan popularitas dan elektabilitas pasangan calon. "Ketika ada orang yang sangat populer, semua partai mendukung dia agar bisa menang dengan mudah," ujarnya.
Tren kenaikan munculnya calon tunggal terlihat pada peserta pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Dalam pilkada 2015, terdapat 4 pasangan calon tunggal dari 269 daerah penyelenggara pilkada. Pada 2017, ada 9 pasangan calon tunggal dari 101 daerah. Pada 2018, terdapat 13 daerah dengan calon tunggal dari 171 daerah. Lalu pada pemilihan tahun ini, diperkirakan ada 28 calon tunggal dari 270 daerah.
Dari 28 daerah yang berpotensi memiliki calon tunggal, beberapa di antaranya merupakan calon inkumben. Misalnya, Bupati Ogan Komering Ulu Kuryana Azis yang berpasangan dengan Johan Anuar, Bupati Grobogan Sri Sumarni yang berpasangan dengan Bambang Pujiyanto; dan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi yang berpasangan dengan Hevearita Gunaryanti Rahayu.
Hendrar mengatakan dukungan semua partai kepada dirinya merupakan capaian yang langka. Namun ia belum memastikan menjadi calon tunggal karena masih menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum. "Masih ada pengunduran pendaftaran calon," katanya.
Pengusung utama Hendrar dalam pemilihan Wali Kota Semarang adalah PDI Perjuangan, yang memiliki 19 kursi di DPRD Kota Semarang. Partai lain yang juga mengusungnya memiliki jumlah kursi di DPRD yang lebih sedikit dibanding PDIP. Ketua Dewan Pimpinan Cabang PKB Kota Semarang, Muhammad Mahsun, mengatakan dukungan partainya kepada inkumben merupakan langkah realistis. Sebab, PKB hanya memiliki empat kursi di DPRD dan partai lain lebih dulu mendukung Hendrar. "Kami harus rasional," ujarnya.
Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Guspardi Gaus, mengatakan peningkatan munculnya calon tunggal ini diduga terjadi akibat gagalnya kaderisasi partai untuk melahirkan calon pemimpin di masyarakat. "Perlu ada evaluasi dan terobosan agar tidak terjadi. Saya berharap kawan-kawan di Komisi II bisa diskusi cari jalan keluar," ucap politikus Partai Amanat Nasional ini.
Politikus Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, mengatakan tidak ada hubungan langsung antara calon tunggal dan kaderisasi partai. Ia mengatakan partai sejak awal tidak merencanakan hadirnya calon tunggal di suatu daerah. "Calon tunggal terjadi karena calon bisa meyakinkan parpol untuk memberi dukungan kepada dirinya," katanya.
DIKO OKTARA | JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
14
