JAKARTA – Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo Surabaya menyatakan tak memiliki perselisihan dengan Pemerintah Kota Surabaya. Rumah sakit yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu juga menerima pasien warga Surabaya dengan terbuka. Pernyataan ini muncul setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melakukan sujud dan menyatakan kesulitan melakukan komunikasi dengan rumah sakit itu.
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya Joni Wahyuhadi menyatakan selama ini komunikasi dan hubungan antara pihaknya dan Pemerintah Kota Surabaya baik-baik saja. "RSUD Dr Soetomo selama ini selalu menerima Pemkot Surabaya dengan baik dan tangan terbuka. Sebelumnya, koordinasi juga telah dilakukan di ruang rapat RSUD Dr Soetomo, khususnya terkait dengan permasalahan Covid-19 dan tracing," kata Joni.
Joni mengatakan hal ini setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sujud di hadapan Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Re-emerging (Pinere) RSUD Dr Soetomo Sudarsono di Balai Kota Surabaya, Senin lalu. Saat itu, Sudarsono, mewakili dokter, mengeluhkan rumah sakit yang kelebihan pasien. Mendengar pernyataan itu, Risma lantas sujud dan meminta maaf kepada Sudarsono. Risma juga menyatakan kesulitan berkomunikasi langsung dengan manajemen dan dokter di RSUD Dr Soetomo.
Risma menyatakan Pemerintah Kota Surabaya berusaha menjalin komunikasi dengan cara hendak mengirim bantuan alat pelindung diri (APD) ke RSUD Dr Soetomo. Namun bantuan tersebut ditolak rumah sakit. Risma juga menyatakan pihaknya memiliki bukti penolakan bantuan tersebut.
Kemarin, Risma mengalihkan bantuan APD ke Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya menyerahkan 300 baju hazmat, 300 kacamata pengaman, dan 800 masker N95 ke rumah sakit itu. "Kalau pakai APD ini, sama dengan menyelamatkan orang," ucap Risma.
Sumber Tempo menyebutkan, sejak Covid-19 menghajar Surabaya pada Maret lalu, Risma mengeluhkan sulitnya berkoordinasi dengan RSUD Dr Soetomo. “Ada rumah sakit besar, RSUD Dr Soetomo, di dalam Kota Surabaya. Tapi Bu Risma sama sekali tidak bisa menyentuh karena tak memiliki kewenangan,” kata dia.
Sumber itu menyebutkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya memang memiliki RSUD Dr Soewandhie dan RSUD Bhakti Dharma Husada. Tapi dua rumah sakit ini tak cukup menampung pasien. Karena tak bisa menyentuh RSUD Dr Soetomo, Risma pun memilih bekerja sama dengan dua rumah sakit swasta: Rumah Sakit Husada Utama dan Siloam Hospitals Surabaya. “Dari awal, koordinasi antara Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur buruk,” kata sumber itu.
Joni membantah perihal tersebut. Menurut dia, institusinya selama ini rutin komunikasi dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan 37 daerah lain di Jawa Timur. Komunikasi dilakukan intensif untuk membahas data penyebaran Covid-19 di masing-masing daerah, tak terkecuali Surabaya.
Joni mengatakan lembaganya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian Pemerintah Kota Surabaya. Menurut dia, rumah sakitnya masih memiliki stok perlengkapan APD untuk tenaga medis di rumah sakit itu. "Nanti kalau diterima, kami dipikir serakah," kata Joni.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur Sutrisno meminta pemerintah serius memperhatikan keselamatan dokter di Jawa Timur, khususnya dengan memberikan bantuan alat pelindung diri dan vitamin bagi dokter. “Saya juga dititipi PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia) agar menyampaikan permohonan serupa,” tutur Sutrisno, kemarin.
Dia menyatakan saat ini terdapat 136 tenaga kesehatan dan 53 bidan di Jawa Timur terinfeksi Covid-19. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga kesehatan di Surabaya karena Sutrisno mengaku kesulitan mengakses data. "Kami kesulitan mendapat data yang di Surabaya,” ucap Sutrisno.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Deni Wicaksono, menyatakan ada banyak masalah di RSUD Dr Soetomo. Menurut dia, rumah sakit itu tidak siap menjadi rumah sakit rujukan pasien Covid-19.
Deni juga menemukan rumah sakit ini tak memiliki langkah aksi yang terukur dan strategis untuk mengatasi membeludaknya pasien Covid-19. Dia mencontohkan, rumah sakit itu hanya memiliki satu ranjang isolasi di instalasi gawat darurat (IGD).
Ruangan itu juga tidak memiliki teknologi tekanan negatif, untuk mengantisipasi adanya pasien yang punya penyakit dengan risiko penularan melalui udara. “Bila alur ideal skrining ini tidak jalan, bisa dipastikan ruangan lain infeksius,” ujarnya.
AVIT HIDAYAT | FRISKI RIANA | ANT
Bermula dari Kesulitan Mengakses Rumah Sakit