JAKARTA -- Organisasi masyarakat sipil khawatir akan keputusan Presiden Joko Widodo mengerahkan Tentara Nasional Indonesia untuk mengawal kebijakan normal baru di tengah pandemi Covid-19. Pengerahan pasukan dinilai rentan disalahgunakan dan berpotensi memicu represi militer kepada rakyat. Mereka menganggap tidak ada kegentingan yang membuat pemerintah harus mengerahkan pasukan militer untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, menyatakan TNI memang bisa diperbantukan ke kepolisian sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Perbantuan itu kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. "Masalahnya adalah sudah banyak laporan kekerasan akibat pengerahan TNI," kata Asfinawati kepada Tempo, kemarin.
Bagi dia, pengerahan TNI merupakan kebijakan yang tidak proporsional untuk mencegah penularan Covid-19. Pasukan militer dididik dan dilatih untuk menjalani perang, bukan menangani persoalan sipil, seperti wabah Covid-19. Ia mengecam rencana pemerintah mengerahkan 340 ribu anggota pasukan gabungan TNI dan Polri untuk mensosialisasi kebijakan normal baru di tengah pandemi Covid-19.
Presiden Joko Widodo sebelumnya memerintahkan pengerahan anggota pasukan gabungan TNI dan Polri yang disebar di empat provinsi dan 25 kabupaten serta kota. Ia mengklaim aparat TNI dan Polri akan bekerja secara persuasif memberikan sosialisasi kepada warga. Jika imbauan tak diindahkan, kata Jokowi, TNI dan Polri akan melakukan tindakan tegas.
Asfinawati mengingatkan, penanganan yang dilakukan kepolisian selama ini sangat rentan memicu kekerasan. Kasus terakhir menimpa Justinus Silas Dimara, 35 tahun, seorang warga Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, yang meninggal ketika disemprot water canon oleh polisi. "Saat disemprot, dia terpelanting jatuh dan meninggal."
Pengerahan pasukan juga sama saja dengan kebijakan darurat sipil yang sebelumnya sempat dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Asfinawati, secara logika, Presiden Jokowi menganggap kepolisian sudah tidak mampu mengawal kebijakan pemerintah dalam pencegahan Covid-19. Maka, kata dia, Jokowi membutuhkan aparat militer untuk meningkatkan keamanan sipil.
Menurut Asfinawati, pengerahan aparat militer tidak akan berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Satu-satunya cara yang efektif, kata dia, adalah mendidik masyarakat untuk tetap menjaga jarak, mencuci tangan, dan melakukan karantina mandiri. "Negara mana yang sanggup menjaga setiap pintu rumah? Jadi, seharusnya kesadaran warganya yang ditingkatkan,” kata dia.
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, menilai kebijakan Presiden Joko Widodo melibatkan TNI-Polri dalam pengawalan kebijakan normal baru justru membentuk situasi yang tidak normal. "Dalam kenormalan yang baru semestinya lebih banyak otoritas kesehatan yang mampu menunjukkan peranannya selepas PSBB (pembatasan sosial berskala besar)," ujar dia, kemarin.
Menurut dia, pengerahan TNI-Polri tak memberikan dampak apa pun untuk menekan kurva penyebaran. Hal itu terlihat ketika pemerintah melibatkan kedua instansi tersebut selama masa PSBB berlangsung di banyak daerah. "Hanya atas nama ketertiban karena publik susah diatur jadi melibatkan TNI-Polri. Ini semacam untuk menutupi ketidaktegasan kebijakan penanganan Covid-19 selama ini," kata Rivanlee.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, mendukung kebijakan pemerintah melibatkan TNI-Polri, yang semata-mata bertujuan agar masyarakat tetap disiplin. "Kunci menekan penyebaran kan menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Kuncinya adalah kedisplinan. Karena itu, TNI-Polri dan pemerintah daerah akan menjaga supaya disiplin," ucap dia.
Djarot menyarankan agar pemerintah belajar dari Vietnam tentang cara penanganan Covid-19. Menurut dia, di Vietnam tidak ada korban jiwa dan pemerintah mampu menangani penyebaran virus. Berdasarkan catatan sampai 20 Mei lalu, pemerintah Vietnam melaporkan 324 kasus Covid-19 dengan 0 kasus kematian. “Salah satu langkah yang Vietnam lakukan guna menekan laju penyebaran adalah mengerahkan militer untuk membantu melacak pasien dan menegakkan aturan karantina,” kata dia.
ANDITA RAHMA | AVIT HIDAYAT