JAKARTA - Pemerintah daerah masih ragu kebijakan baru bantuan operasional sekolah (BOS) akan mampu mengangkat kesejahteraan guru honorer. Sebab, mereka menganggap dana BOS tidak hanya untuk menambah upah guru hororer, tapi juga kegiatan operasional sekolah lainnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumum mengatakan penambahan kuota alokasi dana BOS untuk guru honorer belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, dana BOS yang diterima setiap sekolah berbeda-beda serta jumlah guru honorer mereka bervariasi. "Sementara sekolah-sekolah juga memiliki urusan operasional lain yang tidak kalah penting," kata Sumun, kemarin.
Ia justru menyarankan agar pemerintah pusat memperjelas peralihan status ratusan ribu guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Saran ini sekaligus mengingatkan janji pemerintah pusat pada 2018 yang hendak mengangkat guru honorer menjadi PPPK secara bertahap. Namun janji itu belum terealisasi.
Sumun mengatakan upah guru honorer di Lombok Tengah masih jauh di bawah upah minimum regional. Jumlah guru honorer lebih banyak dibanding guru berstatus pegawai negeri. Rata-rata sekolah di Lombok Tengah hanya memiliki empat guru berstatus pegawai negeri. Sisanya adalah guru honorer. Pemerintah daerah Lombok Tengah memberi mereka insentif sebesar Rp 1,2 juta per tahun untuk setiap guru honorer. Total guru honorer di Lombok Tengah mencapai 3.697 orang.
Mulai tahun ini, pemerintah pusat mengubah kebijakan tentang dana BOS. Selain mengubah mekanisme pencairan dana, pemerintah pusat mengganti alokasi peruntukan dana BOS. Khusus peruntukan dana bagi guru honorer, kuotanya dinaikkan dari 15-30 persen menjadi maksimal 50 persen.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau Muhammad Dali menyambut baik kebijakan Kementerian Pendidikan yang menambah kuota alokasi untuk guru honorer dalam dana BOS. Ia mengatakan guru honorer di daerahnya mencapai 2.877 orang. Selama ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau memberikan insentif rata-rata Rp 2 juta per guru honorer setiap tahun.
Di samping urusan guru honorer, Dali mempertanyakan perubahan mekanisme pencairan dana BOS. Dalam mekanisme baru, peran pemerintah daerah ditiadakan. Sebab, anggaran BOS langsung cair dari rekening pemerintah pusat ke rekening sekolah. Dali mengatakan dia masih menunggu petunjuk teknis dari pemerintah pusat untuk memperjelas peran dinas pendidikan di daerah. "Kami belum mendapatkan petunjuk teknisnya," kata dia.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim mengatakan alokasi maksimal dana BOS untuk menggaji guru honorer akan membuat sekolah dilematis. Sebab, penambahan kuota alokasi BOS buat guru honorer justru akan mengurangi kesempatan sekolah untuk mengembangkan infrastruktur, mengadakan pelatihan guru, ataupun belanja lain yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. "Pengupahan guru honorer melalui BOS ini bisa membuat pemerintah daerah lepas tanggung jawab," kata dia.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Anak Usia Dini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harris Iskandar, mengatakan lembaganya tak bisa terus-terusan menunggu inisiatif pemerintah daerah untuk menggaji guru honorer. "Koordinasi kan sudah bertahun-tahun. Mau sampai kapan? Siswa sudah perlu bantuan untuk mendapat layanan yang bagus dari gurunya," kata Harris. YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM) | ROBBY IRFANY
Pemerintah Daerah Ragukan Kebijakan Baru BOS