JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan adanya tindak kekerasan, penangkapan paksa, dan penahanan yang dilakukan polisi dalam penanganan demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Tim pencari fakta Komnas HAM juga mendapati penangkapan terhadap 1.489 orang selama 23-30 September 2019. Temuan ini diumumkan Komnas HAM di kantornya di Jakarta, kemarin.
Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah menyatakan pihaknya juga menemukan lima orang pelajar dan mahasiswa meninggal di Jakarta dan Kendari. "Tim pencari fakta juga menemukan dua orang korban luka, 15 jurnalis menjadi korban kekerasan, serta adanya indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut," kata Hairansyah di Jakarta, kemarin.
Komnas HAM juga menemukan adanya pelanggaran prosedur tetap (protap) yang dilakukan kepolisian ketika menangani aksi massa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan di sejumlah daerah di Indonesia. Beberapa pelanggaran protap itu merupakan temuan kepolisian yang diduga melakukan kekerasan dan penggunaan upaya paksa. Selain itu, Hairansyah mendapati terbatasnya akses terhadap terduga pelaku, lambannya akses medis terhadap korban, dan terbatasnya akses bantuan hukum bagi yang ditangkap.
Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan pelajar meletus pada 23 September 2019 ketika Dewan Perwakilan Rakyat tengah merevisi UU KPK dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aksi itu serempak dilakukan di sejumlah daerah, termasuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Kendari, hingga Surabaya. Demonstrasi di banyak daerah berakhir ricuh akibat polisi bertindak represif.
Hairansyah juga menyatakan lembaganya menemukan bahwa pihak kepolisian diduga melakukan pelanggaran dalam konteks hak untuk hidup, hak anak, hak atas kesehatan, hak memperoleh keadilan, serta hak atas rasa aman. Atas temuan tersebut, Komnas HAM memberi rekomendasi kepada presiden, pemerintah daerah, dan DPR supaya melibatkan beberapa stakeholder dalam menetapkan kebijakan penyediaan kanal demokrasi untuk memfasilitasi unjuk rasa. Kemudian mendorong adanya pemulihan dan jaminan kesehatan bagi korban.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan, lembaganya memberikan rekomendasi kepada polisi untuk memastikan penegakan hukum dan pemulihan terhadap para korban secara materiil maupun imateril. "Kepada polisi, juga harus melakukan penyelidikan dan penegakan hukum terhadap anggotanya yang terbukti melanggar," tutur Beka.
Selain itu, kepolisian harus segera melaksanakan penyelidikan dan penyidikan atas kematian empat orang korban tewas. Termasuk mengevaluasi instrumen penanganan aksi massa sebagai perbaikan agar tidak terulang di kemudian hari. Komnas HAM juga memberi rekomendasi agar ada jaminan akses peliputan sebagai upaya perlindungan terhadap jurnalis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian Brigadir Jenderal Prabowo Argo Yuwono menyatakan selama ini lembaganya melakukan tindakan pengamanan demonstrasi sesuai dengan prosedur yang berlaku. "Polisi sudah sesuai dengan aturan dalam menjalankan tugas," kata Argo ketika di mintai konfirmasi Tempo, kemarin.
Ia sebelumnya juga membantah anggotanya sebagai penyebab kematian sejumlah mahasiswa dan pelajar, tak terkecuali meninggalnya demonstran bernama Maulana Suryadi, 24 tahun. Argo menyebut Suryadi meninggal karena memiliki riwayat sesak napas. Maulana Suryadi merupakan satu dari lima korban yang tewas saat demonstrasi di Jakarta dan Kendari. Keluarga Suryadi menceritakan bahwa korban mengalami pendarahan di bagian kepala hingga telinga anaknya mengeluarkan darah. Selain itu, wajah Suryadi bengkak.
ADAM PRIREZA | INGE KLARA | AVIT HIDAYAT