JAKARTA – Jumlah rukun warga (RW) yang masuk kategori zona merah di Jakarta masih naik-turun. Per 28 Januari lalu terdapat 67 RW yang rawan penularan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia, menuturkan suatu RW menjadi zona merah karena jumlah kasus aktif Covid-19 di lingkungan itu lebih banyak dibanding wilayah tetangganya. “Masih ada penularan di daerah itu, khususnya kluster keluarga,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Situs Corona.jakarta.go.id menyebutkan, per 28 Januari lalu terdapat 67 RW rawan penularan Covid-19. Rinciannya, di Jakarta Selatan terdapat 30 RW zona merah, Jakarta Pusat 16 RW, Jakarta Barat 9 RW, Jakarta Timur 5 RW, Jakarta Utara 4 RW, dan Kepulauan Seribu 3 RW. Angka ini naik dari 54 RW sepekan sebelumnya.
Kenaikan ini terjadi justru setelah DKI mengandalkan satuan tugas penanganan Covid-19 tingkat rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) sebagai ujung tombak untuk menahan laju penyebaran wabah. Pemerintah DKI, Dwi melanjutkan, telah mensosialisasi pencegahan penyebaran virus corona kepada pengurus lingkungan tersebut. Mereka juga telah mendapat contoh sukses penanganan penyakit menular itu dari satgas Covid-19 RT/RW lain.
Menurut Dwi, para petugas tersebut harus terus mengeksplorasi pendekatan yang lebih efektif di lingkungan masing-masing. Misalnya, kampanye penanganan Covid-19 bisa dilakukan melalui kelompok pengajian. “Biasanya, kelompok pengajian ini sudah punya WhatsApp group,” katanya.
Zona RW Merah di kawasan Srengseng Sawah, Jakarta, 22 Januari 2021. TEMPO/Subekti.
Pelaksana harian Wali Kota Jakarta Pusat, Irwandi, mengakui peran satgas Covid-19 RT/RW belum optimal. Bahkan sebagian pengurus RT/RW tak berdaya menghadapi warga yang enggan mematuhi protokol kesehatan, seperti menggunakan masker dan menjaga jarak. “Kadang lebih galak warganya dibanding mereka,” ujarnya.
Satgas tingkat lingkungan, Irwandi melanjutkan, juga tak kuasa mencegah acara yang kerap menimbulkan kerumunan, seperti pengajian. Pengurus RT/RW khawatir terlibat konflik dengan tetangga jika tidak mengizinkan acara-acara keagamaan. “Sebaiknya MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau DMI (Dewan Masjid Indonesia) yang turun untuk memberikan imbauan,” tuturnya.
Ketua Forum RT/RW DKI Jakarta, Mohammad Irsyad, mengatakan ada sejumlah kendala yang dihadapi satgas Covid-19 tingkat RT/RW. Salah satunya keterbatasan tenaga pengurus RT/RW untuk terus mengawasi lingkungannya selama 24 jam.
Irsyad mencontohkan, salah satu tempat berkerumun ialah warung kopi. Namun pengurus RT/RW tidak bisa terus mengawasinya selama 24 jam.
Kendala lainnya, Irysad menambahkan, ialah para pengurus lingkungan itu tidak memiliki kewenangan layaknya Satuan Polisi Pamong Praja yang bisa membubarkan kerumunan atau menjatuhkan denda bagi warga yang melanggar protokol kesehatan. “Karena warga tahunya pengurus RT/RW itu pekerja sosial,” ujar Ketua RW 05, Rawa Badak Selatan, Jakarta Utara, itu.
Irsyad mengatakan masih banyak warga yang enggan terbuka dan melapor kepada pengurus RT/RW saat terinfeksi corona. Satgas biasanya baru mengetahui ada warganya yang terjangkit penyakit menular itu setelah mendapat informasi dari tetangga sekitarnya, bahwa orang tersebut sudah tidak ke luar rumah beberapa hari karena melakukan isolasi mandiri. “Sebagian masyarakat masih ada yang menganggap penyakit ini (Covid-19) aib,” katanya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyoroti minimnya wewenang sebagai titik lemah ketidakoptimalan peran satgas RT/RW di Jakarta. Mereka, misalnya, tak kuasa menolak pengajuan izin acara yang menimbulkan kerumunan, termasuk pengajian dan resepsi pernikahan.
Menurut Pandu, peran satgas Covid-19 RT/RW masih sebatas mendata warga yang terinfeksi corona dan tengah menjalani isolasi mandiri. Padahal perlu upaya lain untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan RT/RW terus terjadi. “Apalagi sekarang ini penularan itu mengerucut ke lingkungan keluarga dan tetangga,” ujarnya.
GANGSAR PARIKESIT