JAKARTA – Serangan wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Jakarta belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah nyaris tidak mampu lagi menampung korban pagebluk yang terus bertambah.
Pemerintah memang tetap memberlakukan pembatasan berskala besar di Ibu Kota. Namun pembatasan itu belum mampu menekan angka penularan. Jumlah masyarakat yang melanggar aturan protokol kesehatan juga terus bertambah. Karena itu, muncul rencana untuk menerapkan kembali denda progresif terhadap pelanggar aturan protokol kesehatan.
Rencana itu dibenarkan oleh Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria. Pemerintah provinsi akan mengajukan usul kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk merevisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19. "Jadi sangat mungkin kami bersama DPRD akan menyempurnakan perda yang ada, termasuk perlunya ke depan denda progresif dihidupkan kembali," kata Riza, Rabu lalu.
Menurut Reza, pemerintah provinsi tengah menunggu evaluasi penangan wabah yang sudah dijalankan. Hasil evaluasi itu yang nanti dijadikan dasar pemerintah untuk mengajukan usul perubahan perda. “Aturan terkait dengan penanggulangan Covid-19 bisa terus disesuaikan mengikuti kondisi fakta dan data lapangan yang dinamis,” katanya.
Petugas Satpol PP Kecamatan Jatinegara melakukan razia masker di sekitar Terminal Kampung Melayu, Jakarta, 7 Desember 2020. TEMPO/Subekti.
Pemerintah Jakarta pernah menerapkan denda progresif melalui Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2020 yang dikeluarkan pada Agustus 2020. Aturan itu kemudian direvisi melalui Peraturan Gubernur Nomor 101 Tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2020 tentang penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19. Dalam dua pergub itu sudah tercantum ancaman denda progresif bagi pelanggar protokol kesehatan.
Pergub 79 Tahun 2020 itu antara lain menyatakan individu yang melanggar aturan tentang penggunaan masker diancam kerja sosial selama 60 menit atau denda administrasi Rp 250 ribu. Sanksi progresif berlaku apabila pelanggar kedapatan mengulangi kesalahannya.
Setelah pemerintah Jakarta menerbitkan Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan Covid-19, aturan tentang denda progresif itu dicabut. Pencabutan denda progresif tertuang dalam Pergub Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2020.
Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Jakarta menyatakan pemerintah tak perlu merevisi perda untuk memasukkan sanksi denda progresif. Menurut Ketua Bapemperda Pantas Nainggolan, pemerintah cukup menerbitkan peraturan gubernur untuk menambahkan aturan tentang denda berlipat tersebut. “Karena denda progresif bukan sebagai bagian dari ketentuan pidana di perda, melainkan sebagai denda administrasi,” kata Pantas.
Pantas menjelaskan, ada dua jenis sanksi dalam perda, yakni pidana dan administrasi. Untuk sanksi pidana, pemerintah membutuhkan legitimasi dari Dewan. "Kalau sanksi administrasi itu memang kewenangan dari Pemprov DKI Jakarta," katanya. Meski demikian, Pantas tak mempersoalkan bila pemerintah provinsi tetap ingin memasukkan sanksi denda progresif lewat perda. Namun pemerintah harus mengajukan kembali naskah revisi perda kepada DPRD.
Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya, Teguh Nugroho, juga memberi pendapat serupa. Menurut dia, Gubernur Anies Baswedan bisa memasukkan sanksi progresif dalam peraturan gubernur. Sebab, pergub menjadi turunan untuk mengatur teknis sanksi yang tertuang dalam perda. "Termasuk sanksi bagi pelaku usaha dan perkantoran yang belum ditetapkan dalam perda," kata Teguh.
Dalam penanganan pandemi, kata Teguh, upaya yang harus dilalui pemerintah adalah pencegahan, pengawasan, dan penegakan protokol kesehatan. Hukuman, kata Teguh, menjadi upaya terakhir jika pencegahan dan pengawasan telah dijalankan secara maksimal. "Mau dimasukkan seberat apa pun hukuman, kalau tidak dilaksanakan pencegahan dan pengawasan, tidak bakal dilaksanakan protokol kesehatan itu," ujarnya.
INGE KLARA SAFITRI | IMAM HAMDI