Sehari-hari Herman bekerja sebagai tukang pijat tunanetra. Hanya itu keahlian yang dia miliki untuk mencari nafkah. Ia mengelola sebuah panti pijat di Tajur, Bogor Timur, Kota Bogor. Menurut Herman, panti pijat ini yang menjadi gantungan untuk menghidupi istri dan dua anaknya. "Istri saya juga tunanetra,” kata pria 42 tahun itu, kemarin.
Sebelum pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) muncul, dalam sehari Herman bisa melayani 3-5 pengunjung. Namun, setelah ada aturan pembatasan sosial berskala besar, tidak ada satu pun orang yang datang untuk dipijat. Herman menjadi kelimpungan. Tanpa indra penglihatan, ia merasa tidak mungkin mencari pekerjaan lain. "Sejak ditutup pertengahan April lalu, saya hidup hanya dari bantuan dan belas kasih orang," katanya. Hampir dua bulan ia hanya bisa berdiam diri di rumah.
Nasib serupa dialami Siti Nur Aisah, 53 tahun. Sebelum pandemi, perempuan penyandang tunadaksa ini memiliki warung makanan di sebuah sekolah. Tempat usahanya terpaksa ditutup karena kegiatan belajar di sekolah ditiadakan untuk mencegah penularan wabah.
Aisah awalnya mencoba bertahan dengan menjual makanan keliling permukiman. Namun, karena keterbatasan fisik, ia tidak bisa melanjutkan usahanya itu. “Untuk dapat untung Rp 15 ribu saja, saya harus berkeliling seharian dengan kaki pincang ini,” kata Aisah. “Berat sekali rasanya.”
Kesulitan yang dihadapi para difabel itu menjadi perhatian Hasan Basri alias Abas dari Yayasan Penyandang Disabilitas (YPD) Kota Bogor. Kebetulan Herman dan Aisah sudah lama bergabung dengan yayasan itu sejak 2013. "Saya berdiskusi dengan beberapa relawan untuk membantu difabel menghadapi masa sulit selama pandemi,” kata Abas, kemarin. “Muncul ide untuk membuat program pelatihan agar difabel bisa mandiri.”
Anggota YPD di Bogor saat ini tercatat sebanyak 854 orang. Mereka rawan tertular Covid-19 jika dibiarkan keleleran di jalan-jalan. Karena itu, pemberdayaan difabel ini sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko penularan. “Jangan sampai mereka turun ke jalan hanya untuk mengais belas kasih orang," kata Abas.
Menurut Abas, pelatihan itu digelar di sekretariat Yayasan di Jalan Kedongdong, perumahan Villa Citra, Bogor Utara. Gedung seluas hampir 500 meter persegi itu adalah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Sejumlah ruangan telah disulap menjadi kelas-kelas untuk melatih para difabel. “Di sini juga sering digelar kegiatan sosial yang melibatkan donatur dan relawan,” katanya.
Pengelola Yayasan selalu memperhatikan protokol kesehatan setiap ada kegiatan di sekretariat Yayasan. Sebab, penularan wabah bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Karena itu, penerapan protokol kesehatan menjadi kewajiban yang tidak boleh diabaikan. “Setiap Minggu kami libur untuk penyemprotan disinfektan.”
Abas mengatakan Yayasan menjalin kerja sama dengan sejumlah relawan untuk menggelar pelatihan. Sedangkan untuk memasarkan produk yang dihasilkan kaum difabel, Yayasan telah menggandeng Dinas Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah serta toko-toko yang sudah menjadi mitra.
Misalnya, untuk pelatihan shiatsu dan akupunktur, Yayasan mendatangkan sejumlah terapis yang memang sudah mahir. Bahkan, untuk mempraktikkan kemampuan difabel, Yayasan secara khusus membuka pelayanan terapi di sekretariat. "Ada beberapa ruangan di sini yang kita sulap jadi tempat terapi. Biayanya disesuaikan saja," ucap Abas. “Kalau ada yang ingin terapi, bisa datang langsung ke sini, itung-itung membantu para difabel tetap jalan usahanya.”
Prama Darmasakti, ahli terapis dari Pamong Budaya Kota Bogor, mengatakan tertarik untuk membantu difabel atas dasar kemanusiaan. Ia mengajarkan cara memijat menggunakan alat agar difabel tidak perlu bersentuhan fisik secara langsung dengan tubuh orang yang dipijat. "Saat pandemi kan orang takut bersentuhan fisik,” katanya. “Makanya saya ajarkan terapi ini untuk menghindari kontak langsung.”
M.A. MURTADHO | SUSENO
8