JAKARTA – Aktivis hak asasi manusia (HAM) Surya Anta Ginting mengungkap sejumlah praktik ilegal yang terjadi di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat. Di antaranya adalah pungutan liar dan peredaran narkoba.
Surya mengetahui fakta itu berdasarkan pengalamannya saat menjadi tahanan di Rutan Salemba. Dia dipenjara bersama lima aktivis Papua karena dituduh makar setelah mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019. Lima teman Surya itu adalah Ariana Eleopere, Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Issay Wenda. Dalam persidangan, mereka divonis 9 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Surya menuangkan pengalamannya dalam akun Twitter miliknya, @Suryaanta, dua hari lalu. Bahkan dia melampirkan sejumlah foto yang menggambarkan kondisi di dalam rumah tahanan.
Menurut Surya, praktik ilegal itu sudah mereka temui saat baru masuk di Rutan Salemba. Penghuni “lama” meminta bayaran jutaan rupiah jika Surya dan teman-temannya ingin mendapatkan tempat untuk tidur. Surya tidak memiliki pilihan karena setiap sudut ruangan sudah dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu. "Akhirnya kami berlima bayar Rp 500 ribu, karena para tahanan lain tahu kami ini aktivis, bukan anak pejabat," tulis Surya dalam akun Twitter-nya dengan menampilkan foto kondisi Rutan Salemba yang padat.
Selama satu bulan, Surya dan teman-temannya tidur di ruang penampungan yang memiliki nama resmi ruang masa pengenalan lingkungan. Mereka berdesakan dengan sekitar 420 tahanan. Fasilitas pendukung di ruang sangat minim. Hanya ada dua toilet dan satu unit televisi.
Untuk menghilangkan dahaga, para tahanan harus menampung air cadong dalam botol kemasan air mineral. Air itu terasa lengket dan membuat tenggorokan sakit. Namun mereka tidak punya pilihan karena hanya itu air yang bisa diminum.
Dari ruang penampungan, Surya dan teman-temannya kemudian dipindah ke ruangan nomor 18 di Blok J. Mereka bisa mendapatkan kamar itu atas tekanan dari aktivis lain yang berada di luar penjara. Sementara bagi tahanan yang tidak memiliki “pendukung” atau uang, terpaksa tidur di lorong.
Menurut Surya, praktik ilegal yang paling mengejutkan adalah ketika ia menemukan transaksi narkoba di lantai dua rutan. Narapidana berjualan sabu, bahkan secara terang-terangan menawarkan barang dagangannya. "Sabu-sabu siapa yang mau sabu buat malam Minggu," kata Surya.
Di Rutan Salemba, kata Surya, siapa pun dapat menggunakan telepon seluler secara bebas asalkan memiliki uang untuk “membeli” izin. Di sinilah ia memiliki kesempatan untuk mengabadikan beberapa foto menggunakan kamera telepon seluler tersebut.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklaim telah membentuk tim untuk menelusuri praktik-praktik ilegal yang diceritakan oleh Surya. Jika memang cerita itu benar, orang-orang yang terlihat akan ditindak secara tegas. "Apalagi kalau benar ada narkoba, kami berkomitmen perang pada narkoba dan menindak tegas apabila ditemukan pelanggaran, baik yang dilakukan napi ataupun petugas," ujar Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Rika Aprianti.
Rika mengatakan jumlah penghuni Rutan Salemba saat ini mencapai 3.250 orang. Padahal kapasitas rumah tahanan itu hanya untuk menampung 1.500 orang. Sedangkan petugas yang mengawasi para tahanan itu sekitar 23 regu. Jumlah ini tentu tidak seimbang, sehingga tidak heran jika pengawasan di rumah tahanan itu agak longgar. "Tapi kami akan berusaha menyelesaikan permasalahan itu," ujarnya.
Hingga semalam, Tempo belum berhasil menghubungi pejabat di Rutan Salemba untuk meminta konfirmasi tentang cerita Surya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho menilai permasalahan yang diceritakan Surya memang menjadi masalah klasik yang tak pernah tuntas. Penyelesaian masalah ini juga tak bisa sekadar mengatasi di hilir. "Karena pokok masalahnya itu di criminal justice system kita," kata Teguh.
Sampai saat ini, kata Teguh, sistem hukum di Indonesia masih mengedepankan hukuman badan. Padahal banyak kasus yang hukumannya bisa digantikan dengan hukuman sosial. "Saat ini tipiring sampai kejahatan luar biasa semua di hukum badan. Perda juga sanksinya hukuman badan," katanya. Lembaga pemasyarakatan dan rutan, kata dia, seharusnya hanya untuk narapidana yang memang harus diisolasi, seperti pembunuh, pemerkosa, perampok, koruptor, dan bandar narkoba.
INGE KLARA SAFITRI