maaf email atau password anda salah


Akhirnya, Lawan Sepadan bagi Twitter

Threads dianggap sebagai pesaing terberat Twitter. Dua miliar pengguna Instagram bisa memindahkan komunitas mereka ke Threads.

arsip tempo : 171455602775.

Ilustrasi aplikasi Threads, Twitter, dan Instagram. TEMPO/Nita Dian . tempo : 171455602775.

Peluncuran Threads sebagai pesaing Twitter merupakan tonggak perubahan dalam peta persaingan media sosial.

Meta, yang juga pemilik Facebook dan Instagram, meluncurkan platform baru pada pekan lalu, lebih cepat dari agenda mereka. Dengan cepat, Threads disambut positif, terutama oleh para pengguna Twitter yang telah lama cemas karena platform kesayangan mereka diobok-obok oleh Elon Musk.

Dalam kurang dari 24 jam, Threads memikat 30 juta pengguna. Karena Meta memiliki dua miliar pengguna di Instagram, yang akunnya bisa terhubung langsung dengan Threads, jumlah pengguna media sosial baru ini bisa tumbuh cepat.

Dengan tampilan yang sederhana, hitam-putih, serta fitur yang memungkinkan kita untuk membalas, memberi ikon "love", mengutip, dan mengomentari "threads" pengguna lain, terlihat jelas persamaan antara Threads dan Twitter. Pertanyaannya, bisakah Threads menggeser Twitter?

Ilustrasi aplikasi Threads dan Twitter. REUTERS/Dado Ruvic

Situasi yang Berulang

Pada Oktober 2022, pengguna hanya bisa pasrah melihat Elon Musk menjadi CEO Twitter. Mastodon menjadi "sekoci" mereka. Belakangan, pengguna dibikin bingung karena Mastodon punya banyak server yang tersebar di berbagai lokasi, dengan aturan main berbeda-beda.

Banyak penggemar Twitter membuat akun cadangan di Mastodon kalau-kalau Twitter crashed, sembari menunggu apa yang Musk lakukan selanjutnya. Penantian itu tak lama. Ketidakstabilan platform menjadi penyakit yang sering kambuh sejak Musk mulai memberhentikan banyak karyawan Twitter (dia memecat sekitar 80 persen pekerja awal Twitter).

Sejurus kemudian, Musk membuat pengguna ketar-ketir dengan mengubah sistem verifikasi Twitter dan memaksa para pemegang akun bercentang biru membayar hak istimewa tersebut. Kebijakan ini membuka jalan bagi pemalsuan akun dan penyebaran informasi palsu dalam skala besar. Selanjutnya, banyak perusahaan besar meninggalkan platform tersebut, dengan membawa serta anggaran iklan mereka.

Musk juga melabeli organisasi media tepercaya, seperti BBC, sebagai media "milik negara" sehingga memancing kemarahan banyak orang yang menuntutnya mundur. Baru-baru ini, dia mulai membatasi berapa banyak suatu tweet dapat dilihat dan mengumumkan bahwa TweetDeck (perangkat pengaturan tweet terjadwal) dibatasi hanya untuk akun berbayar.

Baca: Ancaman Kebebasan Berbicara di Era Elon Musk

Pengguna Twitter telah mencoba banyak media sosial alternatif, termsuk Spoutible dan Post. Bluesky, buatan co-founder Twitter, Jack Dorsey, mendapat sambutan positif. Namun pertumbuhannya terbatas karena pendaftaran hanya bisa berlangsung lewat undangan pengguna lain. Intinya, tak ada yang bisa memuaskan pengguna Twitter ... sampai saat ini.

Komunitas Menjadi Kunci

Sebelum era kepemimpinan Musk, Twitter mengalami masa emas. Platform itu menjadi rumah bagi banyak jurnalis, pemerintah, akademikus, dan masyarakat luas untuk berbagi informasi soal isu penting setiap hari. Di masa darurat, Twitter menawarkan bantuan real-time. Saat bencana terburuk menghantam, pengguna saling berbagi kabar yang berguna untuk menyelamatkan banyak jiwa.

Twitter memang punya sejumlah cacat, dari menjadi tempat untuk menghujat (troll), bots, dan perilaku abusive. Namun proses verifikasi Twitter dan kemampuannya untuk memblokir serta melaporkan konten tak pantas menjadi pilar kesuksesan mereka membangun komunitas yang terus berkembang.

Hal-hal itu pula yang membedakan Threads dari pesaing lain. Dengan menghubungkan Threads ke Instagram, Meta menempatkan diri di posisi depan dalam menggaet massa yang kritis dan menjadikan mereka platform terkemuka. Keistimewaan ini tak dimiliki, misalnya, oleh Mastodon.

Pengguna Threads tak hanya bisa menggunakan user name Instagram, tapi juga mengajak serta pengikut lama mereka. Kemampuan untuk mempertahankan komunitas di aplikasi yang serupa menjadikan Threads sebagai ancaman terbesar bagi Twitter.

Penelitian saya mendapati bahwa orang-orang haus akan otoritas, autentisitas, dan komunitas saat terlibat dalam pertukaran informasi secara online. Dalam buku baru kami, saya serta rekan penulis Donald O. Case dan Rebekah Willson menjelaskan bagaimana pengguna mencari informasi dari sumber yang mereka tahu dan percaya.

Penggemar Twitter menginginkan platform alternatif dengan fungsi serupa, tapi, yang lebih penting, mereka ingin segera bertemu kembali dengan "orang-orang mereka". Mereka tak mau membangun ulang komunitas dari nol. Perilaku ini yang menjelaskan mengapa mereka bertahan di Twitter, meski Musk telah, secara terang-benderang, menghancurkan platform tersebut.

Ilustrasi penggguna ingin mengintall aplikasi Threads. TEMPO/Nita Dian

Tantangan ke Depan

Pengguna Twitter, tentu saja, punya kekhawatiran keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Mendaftar aplikasi baru milik Meta membuat mereka berpikir ulang.

Para pengguna baru Threads yang membaca persyaratan dengan saksama mendapati ketentuan bahwa informasi mereka akan digunakan untuk "iklan yang dipersonalisasikan serta pengalaman-pengalaman lain" di kedua platform. Juga ada poin yang menyatakan bahwa akun Threads hanya bisa dihapus jika kita menghapus akun Instagram kita. Ketentuan-ketentuan semacam itu bikin ciut sebagian orang.

Lebih lanjut, Meta memutuskan untuk tidak meluncurkan Threads di Uni Eropa karena persoalan peraturan. Undang-Undang Pasar Digital, yang baru dibentuk parlemen Uni Eropa, bisa jadi tantangan berat bagi Threads. Contohnya, undang-undang itu menyatakan perusahaan tak dapat melacak pengguna akhir di luar layanan platform inti untuk tujuan iklan bertarget tanpa persetujuan. Hal ini bisa jadi bertentangan dengan kebijakan privasi Threads.

Meta juga mengumumkan rencana untuk memindahkan Threads ke infrastruktur yang terdesentralisasi. Dalam penjelasan "How Threads Works" di aplikasi itu, disebutkan "versi masa depan Threads akan berjalan dengan fediverse—server yang terpisah-pisah tapi saling terhubung". Hal ini memungkinkan "orang-orang untuk mengikuti dan berinteraksi dengan pengguna platform lain, termasuk Mastodon".

Artinya, kita bisa melihat dan berinteraksi dengan konten Threads dari akun non-Meta tanpa perlu mendaftar di Threads. Menggunakan standar ActivityPub (yang memungkinkan hubungan antarplatform), Threads bisa berfungsi sama dengan WordPress, Mastodon, dan server e-mail, dengan pengguna dari server satu bisa berinteraksi dengan pengguna di server lain. Belum jelas kapan Threads menjalankan rencana desentralisasi ini serta dampaknya terhadap pengguna.

Apakah Meta Mencuri "Rahasia Dagangan"?

Musk, seperti biasanya, tak akan menyerah sebelum berjuang. Hanya dalam hitungan jam setelah peluncuran Threads, pengacara Twitter, Alex Spiro, membuat pernyataan tertulis yang menuduh Meta menyelewengkan rahasia dagang secara "sistematis" dan "melanggar hukum".

Surat tersebut menyatakan adanya mantan pegawai Twitter yang dipekerjakan Meta untuk "mengembangkan aplikasi tiruan milik Meta dalam hitungan bulan". Meta membantah tudingan tersebut, tapi persaingan di antara kedua perusahaan itu masih jauh dari usai.

---

Artikel ini ditulis oleh Lisa M. Given, guru besar informasi di RMIT University, Melbourne, Australia. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di The Conversation dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan