maaf email atau password anda salah


Transisi Industri Matang demi Transisi Berkeadilan

Perlu transisi industri untuk menciptakan nilai tambah ekonomi serta lapangan kerja baru yang berkelanjutan dan rendah karbon.

arsip tempo : 172852231378.

PLTU Babelan di Bekasi, Jawa Barat, Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan. tempo : 172852231378.

Transisi energi merupakan salah satu komitmen prioritas Indonesia seperti yang telah dijanjikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Long-Term Strategy for Low-Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia Emas 2025-2045. Pemerintah telah mengimplementasikan beberapa kebijakan untuk mendukung hal tersebut, termasuk rencana meningkatkan bauran energi terbarukan, penutupan dini PLTU batu bara, dan elektrifikasi kendaraan.

Sayangnya, meskipun telah disinggung dalam komitmen-komitmen tersebut, transisi industri tampaknya masih luput dari perhatian pemerintah. Transisi industri merupakan bagian integral dalam transisi berkeadilan (just transition) demi menciptakan nilai tambah ekonomi serta lapangan kerja baru yang berkelanjutan dan rendah karbon. 

Siapa pun presiden Indonesia yang akan terpilih dalam Pemilihan Umum 2024 perlu mulai mempersiapkan transisi industri yang terkelola dan terencana.

Apa itu transisi industri?

Banyak sekali jargon yang diutarakan di media ihwal perkembangan industri dan energi, seperti revolusi industri 4.0, transisi industri, serta transisi energi. Perlu dipahami bahwa jargon-jargon tersebut merepresentasikan hal berbeda meskipun saling berkaitan, seperti yang dirangkum dalam infografis di bawah ini.

#Info Lingkungan 3.1.1-Perbandingan Tiga Jargon Perkembangan Industri dan Energi

Transisi industri adalah perubahan industri pendorong ekonomi di tingkat regional atau nasional, dari industri yang menurun (declining industry) menuju industri berkembang (emerging industry). Perkembangan teknologi, globalisasi, dan desakan akan sistem ekonomi netral iklim (climate-neutral economy) menuntut daerah-daerah melakukan transisi industri agar tidak tertinggal.

Transisi industri bukanlah hal baru. Sejarah menunjukkan beberapa kasus transisi industri yang sukses, seperti kawasan Ruhr di Jerman serta beberapa kota berbasis sumber daya alam di Cina, Australia, dan Norwegia, juga di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Kasus-kasus tersebut menggambarkan transisi dari industri intensif karbon menuju industri rendah karbon.

Di Indonesia, beberapa daerah sangat bergantung pada declining industry, seperti pertambangan batu bara. Contohnya adalah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dengan kontribusi pertambangan batu bara terhadap produk domestik regional bruto sebesar 53 persen dan 30 persen pada 2022. 

Industri manufaktur di Indonesia, misalnya, masih intensif karbon. Data dari Climate Watch dan World Bank menunjukkan tingkat intensitas emisi industri manufaktur Indonesia senilai 1,05 kilogram per dolar AS pada 2015, jauh melebihi Singapura (0,62), Jepang (0,59), Amerika Serikat (0,69), dan negara-negara Uni Eropa (0,43). 

Ringkasnya, transisi industri perlu dilakukan di daerah yang bergantung pada declining industry dan industri manufaktur yang intensif karbon.

Bongkar muat baja billet di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Tantangan transisi industri

Transisi industri menghadapi beragam tantangan yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa area kunci, yaitu teknologi, model investasi dan pembiayaan, pengembangan keterampilan, serta tata kelola.

Salah satu hambatan utama dalam transisi energi pada sektor industri adalah belum matangnya teknologi energi terbarukan, seperti teknologi penyimpanan atau baterai yang masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut. 

Meskipun manfaat teknologi ini jelas, industri enggan sepenuhnya mengadopsinya karena perkembangannya yang masih terus berlanjut, yang berpengaruh pada tingkat kesiapan teknologi tersebut. 

Contoh lain dapat dilihat dari sulitnya usaha dekarbonisasi energi panas yang digunakan di sektor industri, seperti industri baja atau semen. Sumber energi terbarukan yang dapat digunakan untuk mengganti peran gas ataupun batu bara dalam memproduksi energi termal secara langsung masih terbatas hanya pada biomassa/biometana, sedangkan jenis bioenergi ini hanya mampu digunakan pada skala low-medium heat.

Hambatan kedua berkaitan dengan model investasi dan pembiayaan. Transisi industri membutuhkan investasi besar untuk membiayai infrastruktur, peralatan baru, dan peningkatan teknologi, yang dapat menjadi tantangan besar. Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur penopang, seperti jaringan listrik yang andal, dan ini dapat membebani anggaran publik. Sementara itu, di tingkat perusahaan, investasi peralatan baru dan peningkatan teknologi dapat memberatkan keuangan perusahaan karena dianggap belum memiliki nilai keekonomian yang menjanjikan. 

Indonesia perlu mengembangkan berbagai model pembiayaan untuk meningkatkan daya tarik investasi. Ini termasuk memberikan insentif berupa subsidi atau potongan pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan dan energi terbarukan, mendorong skema patungan atau obligasi hijau, menggunakan instrumen keuangan baru seperti obligasi iklim dan dana investasi sosial, hingga memberikan keringanan bea masuk bagi peralatan industri yang hemat energi.

Hambatan selanjutnya berkaitan dengan keterampilan tenaga kerja industri. Saat industri mengadopsi teknologi baru, tenaga kerja perlu memperoleh keterampilan baru untuk mengoperasikan serta merawat peralatan dan sistem baru. Program pengembangan tenaga kerja dan pendidikan sangat penting untuk memastikan karyawan dapat beradaptasi serta berkembang dalam lanskap industri yang baru, canggih, dan berkelanjutan. 

Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah memperkuat kemitraan industri-pendidikan. Kolaborasi industri dengan lembaga pendidikan dapat membantu mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan menyelenggarakan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan transisi.

Efektivitas tata kelola menjadi hambatan terakhir dalam transisi energi, misalnya dalam regulasi dan praktik. Sebagai contoh, implementasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Indonesia masih simpang siur, terutama ihwal kapasitas maksimum sambungan listrik yang boleh terpasang.

Tata kelola yang efektif memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk badan pemerintah pusat dan daerah, pemimpin industri, organisasi lingkungan, serta masyarakat lokal, secara transparan dan akuntabel. Proses pengambilan keputusan yang kolaboratif penting untuk memastikan kepentingan semua pihak dipertimbangkan dan transisi sejalan dengan tujuan lingkungan. Mekanisme tata kelola yang transparan berkontribusi pada keadilan dan perilaku etis dari proses transisi.

Untuk mengatasi berbagai tantangan ini dan menjamin transisi industri berkelanjutan, analisis dampak juga sangat penting karena memerlukan evaluasi menyeluruh dari dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari pergeseran industri. Misalnya, ketika sebuah perusahaan manufaktur di Indonesia beralih dari penggunaan batu bara ke energi surya, analisis dapat membantu mengevaluasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari perubahan ini. Analisis ini dapat mencakup dampak terhadap pekerjaan di sektor batu bara, harga energi bagi konsumen, dan emisi karbon.

Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk yang didatangkan dari Samarinda di Pelabuhan PLTU Tidore Kepulauan, Maluku Utara, 4 Januari 2024. ANTARA/Andri Saputra

Transisi industri terkelola dan terencana di luar negeri

Beberapa kawasan di dunia mulai melakukan transisi secara terkelola dan terencana. Sebagai contoh, Uni Eropa merilis program transisi berkeadilan bernama Just Transition Mechanism (JTM) untuk membantu daerah-daerah yang paling terkena dampak dari transisi energi di Eropa untuk melakukan transisi industri. Bantuan-bantuan tersebut berbentuk pembiayaan, dukungan teknis, dan konsultasi untuk target industri yang telah ditentukan.

Salah satu aspek penting dalam JTM adalah penyusunan Territorial Just Transition Plans (TJTP) atau mekanisme transisi berbasis wilayah. TJTP bersifat bottom-up sehingga memungkinkan negara anggota Uni Eropa memilih daerah yang berhak mengakses bantuan, lalu menuangkan proses transisi dalam dokumen perencanaan.

Perencanaan dalam dokumen tersebut dijabarkan secara konkret, dari target transisi, kaitannya dengan kebijakan dan target lain, jangka waktu, kebutuhan investasi, hingga rencana aksi yang difokuskan pada diversifikasi ekonomi, upskilling dan reskilling, serta upgrade teknologi.

Di Skotlandia, Just Transition Planning Framework disusun sebagai bahan acuan perencanaan di tingkat perusahaan, pemerintah daerah, dan organisasi pemerintahan lainnya, seperti kementerian teknis. Kerangka kerja ini berbasis bukti, yang disusun bersama dengan pemangku kepentingan, adaptif, dan disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ada.

Kerangka kerja perencanaan yang disusun Skotlandia memiliki beberapa kesamaan dengan JTM. Pertama, proses transisi yang direncanakan berbasis tempat (place-based), yaitu berfokus pada daerah yang terkena dampak, dan sektor (sectoral-based), yakni berfokus pada industri intensif energi. Kedua, perencanaan ini didasari pendekatan bottom-up, dengan rencana spesifik disusun di tingkat satuan kerja, tapi acuan perencanaan disusun di tingkat nasional.

Kedua kerangka perencanaan ini dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia untuk merencanakan transisi industri secara berkeadilan dan berkelanjutan serta untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060. Perencanaan yang matang merupakan langkah awal yang krusial dalam transisi industri yang tepat, cepat, dan lancar.

Merangkum apa yang telah dijabarkan sebelumnya, Indonesia perlu segera memprioritaskan transisi industri yang terkelola dan terencana sebagai bagian integral dari komitmen terhadap transisi energi yang berkeadilan. Meskipun telah dijanjikan dalam berbagai kebijakan, transisi industri tampak kurang mendapat perhatian pemerintah. Calon presiden Indonesia pada Pemilu 2024 harus memfokuskan persiapannya pada transisi industri, termasuk kontribusi sektor industri terhadap emisi gas rumah kaca dan komitmen pengurangan emisi sektor industri. Daerah yang masih bergantung pada industri yang menurun, seperti pertambangan batu bara dan industri manufaktur yang karbon intensif, harus menjadi fokus utama. 

Tantangan seperti teknologi energi terbarukan yang belum matang, model investasi, pengembangan keterampilan tenaga kerja, dan tata kelola yang efektif perlu diatasi melalui inovasi kebijakan. Inspirasi dari praktik luar negeri, seperti di Uni Eropa dan di Skotlandia, dapat membimbing perencanaan transisi industri yang adil, cepat, dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan demikian, transisi industri yang terkelola dengan baik menjadi kunci untuk mencapai tujuan Indonesia menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan.


Artikel ini ditulis oleh Fikri Muhammad, Analis Senior bidang Ekonomi dan Pemerintahan, Climateworks Centre, dan Muhammad Rizki Kresnawan, Manajer Proyek Senior bidang Sistem Energi, Climateworks Centre. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 10 Oktober 2024

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024

  • 7 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan