Mengenali Tanda-tanda Cuaca Ekstrem
Banjir bandang, rob, angin ribut kian sering muncul akibat perubahan iklim. Peneliti BRIN menulis cara mengenali cuaca ekstrem.
Perubahan iklim membuat anomali cuaca semakin parah. Di Indonesia, sebagai negara kepulauan di garis khatulistiwa, iklim yang berubah membuat cuaca dan kejadian ekstrem semakin sulit diprediksi.
Contohnya fenomena iklim El Nino pada 2023-2024, yang menyebabkan peningkatan suhu, menunda musim hujan di Indonesia hingga awal Januari ini atau selama lima dasarian (sekitar 50 hari) dari kondisi normal. Rekor tersebut melampaui penundaan musim hujan saat El Nino terparah yang pernah tercatat melanda Indonesia pada 1997-1998 (2-3 dasarian).
Perubahan iklim juga membuat cuaca ekstrem semakin intens. Misalnya, iklim yang berubah dapat menambah kecepatan angin dari 5 meter per detik menjadi 10 meter per detik sehingga dampaknya lebih merusak.
Kita perlu mengetahui cuaca ekstrem apa saja yang kerap terjadi di Indonesia agar bisa mengantisipasi risiko ke depannya di tengah perubahan iklim. Setidaknya ada tiga cuaca ekstrem di Indonesia dalam skala menengah atau meso (2-2.000 kilometer) yang perlu kita waspadai.
1. Squall line
Squall line yang terbentuk dari Sumatra bagian selatan lalu menjalar ke selat Sunda hingga Bali. Dok. The Conversation
Seperti namanya, squall line adalah fenomena cuaca ekstrem berbentuk garis memanjang. Garis ini terbentuk dari awan kumulonimbus yang terus memanjang hingga menyerupai landasan pesawat, lalu bertemu dengan awan serupa.
Seiring dengan perjalanannya, pertemuan kedua awan ini menciptakan energi yang dahsyat. Squall line yang terjadi di laut bahkan dapat menciptakan empasan badai (storm surge) lalu membawa angin kencang dan rob ke daerah pesisir.
Banjir rob yang melanda kawasan pantai utara ataupun pantai selatan Jawa hingga Bali pada akhir Mei sampai Juni 2020, misalnya, terjadi karena squall line. Saat itu Brebes, Jawa Tengah, diklaim mengalami banjir rob terbesar sepanjang sejarah. Fenomena ini bahkan menciptakan gelombang tinggi yang berisiko menimbulkan abrasi di kawasan pesisir dan merusak infrastruktur, seperti tanggul dan jembatan.
Dari mana squall line ini muncul? Kami dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merekam perjalanan squall line yang saat itu terbentuk di Sumatera bagian tengah.
Awalnya kami mengira squall line akan meluruh atau menyeberang ke arah Selat Malaka yang berada di antara Malaysia dan Pulau Sumatera. Ternyata squall line saat itu malah bertahan, lalu mengarah ke Selat Sunda dan berlangsung lebih dari 24 jam. Hal ini menandakan betapa dahsyatnya energi badai dari squall line saat itu karena bisa mengambil energi dari sekitar beberapa kali untuk memperkuat dirinya dan melanjutkan perjalanan sampai Bali.
Lantas berapa kecepatan squall line tersebut untuk menyeberang dari Sumatera ke Jawa? Perhitungan kami sekitar enam jam. Jadi, jika squall line terbentuk pada dinihari, warga di Banten dan Jawa Barat perlu bersiap-siap sejak pagi untuk menghadapi badai dan gelombang tinggi.
2. Bow echo
Bow echo adalah fenomena cuaca ekstrem squall line, tapi melengkung seperti busur atau bumerang.
Lengkungan inilah yang perlu kita waspadai. Sebab, lengkungan terjadi karena ada pusaran angin di kedua ujung garis, yakni pusaran siklon (berlawanan dengan arah jarum jam) dan antisiklon (searah jarum jam). Bayangkan betapa parahnya daya rusak bow echo akibat dua pusaran yang berpasangan ini.
Proses terjadinya bow echo yang menyebabkan hujan ekstrem di Cimenyan, Bandung. Dok. The Conversation
Bukan hanya siklon, di kedua ujungnya, bow echo juga biasanya mengandung awan downburst di bagian tengah atau lengkungannya. Awan ini menumpahkan hujan yang sangat deras dengan tempo amat cepat di suatu tempat.
Besarnya energi bow echo menghasilkan angin puting beliung yang begitu destruktif. Hal ini kami amati dari rekonstruksi kejadian bow echo di Cimenyan, Bandung, pada Mei 2021 (riset sedang dalam proses telaah). Saat itu sang bumerang, yang berkecepatan 56 km/jam, merusak 361 rumah.
3. Mesoscale convective complex (MCC)
Perjalanan berkumpulnya kluster awan yang mengakibatkan hujan ekstrem di sekitar Bandung raya selama tiga hari berturut-turut pada Maret 2021. Dok. The Conversation
Mesoscale convective complex (MCC) adalah fenomena cuaca ekstrem yang sering terjadi pada akhir tahun lalu di Pulau Jawa. MCC terbentuk dari kluster-kluster awan yang bergabung, lalu membentuk satu bulatan. Kluster ini pada awalnya hanya berskala kecil, kemudian perlahan-lahan membesar. MCC dapat menciptakan hujan ekstrem selama tiga hari berturut-turut.
Contoh fenomena MCC terjadi di Bandung Raya, Jawa Barat, pada 23-25 Maret 2021. Banjir ini menyebabkan 4.161 rumah di Kabupaten Bandung terendam.
Kluster awan juga bisa terbentuk lebih dari satu kumpulan dalam waktu bersamaan atau biasa disebut MCC kembar. Kondisi ini menyebabkan badai stasioner yang memicu hujan ekstrem dan lama. Di Luwu, Sulawesi Selatan, MCC kembar menyebabkan banjir bandang pada Juli 2020. Cuaca ekstrem ini menyebabkan 38 orang meninggal, 58 korban luka-luka, dan 14 ribu penduduk mengungsi.
Nelayan batal melaut setelah BMKG mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem di pantai Tapak Paderi di Kota Bengkulu, Bengkulu, 4 Januari 2024. ANTARA/Muhammad Izfaldi
Pentingnya prediksi cuaca ekstrem
Dengan kondisi negara yang dikelilingi laut, Indonesia memiliki risiko tinggi mengalami cuaca ekstrem. Sebab, fenomena meteorologi di atmosfer dapat terkombinasi dengan dinamika di laut.
Kita membutuhkan cara memprediksi yang lebih baik untuk mengantisipasi berbagai anomali cuaca akibat perubahan iklim. Kita, misalnya, tidak bisa hanya mengasumsikan puting beliung seperti sebelumnya, yakni kondisi angin ekstrem yang berlangsung cepat.
Untuk mengantisipasi cuaca ekstrem, kita perlu lebih aktif mempelajari dinamika cuaca dan pola kejadian ekstrem. Indonesia memerlukan tim “pemburu badai” yang memantau kejadian ekstrem lalu mempelajarinya. Tujuannya, agar di masa depan kejadian serupa dapat diantisipasi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga harus berkoordinasi langsung dengan pimpinan daerah ataupun kelompok masyarakat seputar risiko cuaca ekstrem. Harapannya, sistem pencegahan dini dapat semakin kuat dan masyarakat lebih sigap menghadapi kejadian ekstrem yang berisiko lebih sering terjadi di masa depan.
---
Artikel ini ditulis oleh Erma Yulihastrin, peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN. Terbit pertama kali di The Conversation.