maaf email atau password anda salah


Ancaman El Nino pada Satwa Liar

Kemarau panjang yang disebabkan oleh El Nino mengancam kelangsungan berbagai jenis satwa endemik Indonesia.

arsip tempo : 171497731243.

Salamander. Shutterstock. tempo : 171497731243.

Cuaca panas akibat El Nino yang melanda Indonesia beberapa bulan terakhir bukan cuma membuat kita gerah. Bagi sejumlah satwa liar, efek cuaca panas dan kekeringan juga bisa mematikan.

El Nino mengancam ruang hidup satwa liar di kawasan tropis karena menyebabkan sungai dan danau mengering, hutan-hutan rusak akibat kebakaran, serta pemanasan permukaan laut. Hal ini diperparah oleh tingkat ancaman terhadap satwa liar Indonesia yang berbeda karena wilayah Indonesia merupakan kepulauan. Meski keberagamannya berpotensi lebih tinggi, kelimpahan spesies di kawasan kepulauan jauh lebih rendah dibanding di kawasan kontinental (daratan luas).

Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyepakati El Nino akan berlangsung lebih sering dan lebih parah akibat iklim yang berubah. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres bahkan menyebutkan bumi sedang menghadapi masa “pendidihan global”. Tanpa rencana pencegahan yang memadai, panas dan kekeringan ekstrem akibat fenomena cuaca berskala besar ini akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Dampak El Nino terhadap Satwa Indonesia

Kekurangan air akibat El Nino mengancam langsung satwa-satwa yang bergantung pada air, contohnya amfibi. Satwa jenis ini berperan penting dalam rantai makanan: pengendali alami populasi serangga dan pakan bagi spesies lain, seperti ular dan elang. Kehilangan amfibi pun akan mengganggu proses penting dalam ekosistem, seperti pengadukan tanah (bioturbasi) dan penguraian.

Meski hidup di dua alam, amfibi—yang terdiri atas katak, kodok, dan salamander—mengawali hidupnya dari air. Ketiadaan air akan membuat amfibi sulit berkembang biak. Sementara itu, di kawasan tropis, beberapa jenis amfibi memiliki usia pendek, hanya dua tahun.

Ilustrasi katak. Shutterstock

Musim kemarau berkepanjangan dapat meningkatkan risiko kepunahan spesies amfibi di Indonesia, yang saat ini tercatat mencapai 270 jenis. Meski secara global amfibi sedang menghadapi gelombang kepunahan, yang salah satunya akibat perubahan suhu, dampaknya bagi amfibi di Indonesia belum banyak diteliti.

Selain amfibi, satwa yang terancam adalah ikan, terutama spesies yang bermigrasi di sungai berarus deras dengan kadar oksigen tinggi. Penurunan debit air akibat kemarau akan mengurangi arus sungai sehingga kadar oksigen di dalamnya berkurang. Hal ini membuat ikan kesulitan mencapai tempat migrasi (biasanya untuk bertelur) atau mati dalam perjalanan.

Salah satu contohnya adalah ikan tambra (Tor tambroides) di sungai-sungai di Kalimantan, Jawa, Sumatera, hingga beberapa kawasan Asia Tenggara. Kekeringan berisiko memperparah penurunan populasi ikan ini, yang memang sudah tertekan karena perburuan dan kerusakan habitat.

Kekeringan di sumber air besar juga dapat mengancam langsung keberadaan populasi ikan endemik. Misalnya, kekeringan di Danau Poso, Sulawesi Tengah, turut mengancam ikan Popta’s buntingi, satu dari beberapa spesies ikan endemik Danau Poso yang berstatus terancam punah. Kekeringan di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, juga berisiko bagi kelangsungan ikan arwana merah, spesies langka penghuni kawasan tersebut.

Di hutan-hutan, primata yang hidup sepenuhnya di pepohonan atau arboreal tidak lepas dari tekanan El Nino. Saat kemarau ekstrem datang, pepohonan akan menyesuaikan diri dengan menghasilkan buah yang lebih kecil dari biasanya. Hal ini mempengaruhi kelimpahan pakan sehingga mengganggu kehidupan mereka.

Owa Jawa merupakan primata langka yang berisiko terimbas tekanan ini. Pasalnya, Owa tidak bisa melahap pakan daun dan biji-bijian, hanya buah-buahan.

Selain persoalan pakan, kesehatan primata terkena dampak langsung kebakaran hutan yang mengganas akibat El Nino. Studi terbaru menyebutkan asap kebakaran menyebabkan suara orang utan menjadi parau dan diduga mengalami peradangan saluran pernapasan. Ini menjadi berita buruk, apalagi bila terjadi pada orang utan Tapanuli yang populasinya tinggal 800 ekor.

Cuaca panas juga dapat membalikkan upaya konservasi kadal purba komodo yang selama ini berjalan positif. El Nino dapat mematikan pohon-pohon sehingga anak-anak komodo kian rentan dimangsa oleh komodo dewasa.

Saat ini anak-anak komodo kerap memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Tanpa El Nino saja, hanya 1 dari 10 anak-anak komodo yang tumbuh dewasa. Bayangkan jika di masa depan El Nino semakin kuat dan sering, anak-anak komodo yang bertahan hidup bisa semakin sedikit.

El Nino juga dapat memanaskan permukaan laut dan meningkatkan keasamannya sehingga bisa menyebabkan terumbu karang memutih, bahkan mati. Hal ini dapat mengancam ekosistem perairan Indonesia yang termasuk Segitiga Karang Dunia sekaligus rumah bagi 1.100 dan 5.300 spesies flora dan fauna perairan.

Seekor owa Jawa (Hylobates moloch) keluar dari kandang habituasi di Cagar Alam Gunung Tilu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 24 Oktober 2023. TEMPO/Prima Mulia

Segera Bertindak

Pemerintah sebaiknya menyediakan pendanaan cukup untuk meneliti dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati. Pengetahuan kita mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia sangat minim. Sementara itu, kerusakan habitat tersebut terus meningkat.

Sebagai langkah awal, Indonesia harus menggenjot penelitian yang memprediksi dampak perubahan iklim terhadap kehidupan satwa liar. Pemanfaatan teknologi pemantauan, pelaporan, dan verifikasi berskala luas menggunakan teknologi, seperti peraba jarak jauh optik (Lidar) ataupun Sistem Informasi Geografis, harus dilakukan.

Teknologi ini memungkinkan kita mengetahui pola-pola aktivitas satwa liar bahkan secara langsung. Harapannya, jika otoritas cuaca meramalkan cuaca ekstrem akan terjadi, kita bisa bertindak cepat—berbasiskan data pemantauan—untuk mencegah dampak negatifnya bagi satwa liar.

Sistem pemantauan berbasis data ini jangan dibangun terpusat. Indonesia, dengan karakternya sebagai negara kepulauan, justru perlu memanfaatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian di daerah agar kegiatan pemantauan satwa liar tersebar di tiap kawasan.

Indonesia juga dapat meningkatkan penggalian materi biodiversitas untuk keperluan pangan, papan, obat-obatan, aromaterapi, kosmetik, dan lain-lain dalam program pemanfaatan produk berbasis sumber daya hayati (bioprospecting) yang lebih terencana. Penggalian materi biologi juga perlu dilakukan bekerja bersama masyarakat adat agar mereka dapat memanfaatkan material genetik dengan baik. Selain itu, bioprospecting perlu digalakkan di berbagai perguruan tinggi di dalam negeri khususnya, dan kalau perlu saja dengan perguruan tinggi luar negeri.

Indonesia juga dapat menjajaki sistem kredit biodiversitas, yakni memberikan kredit bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Kredit ini dapat dijual ke perusahaan untuk menebus aktivitasnya yang berdampak pada biodiversitas. Dana hasil penjualan kemudian bisa kita gunakan untuk memperkuat usaha pelestarian flora dan fauna di Tanah Air.

Tanggal 5 November adalah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Semoga peringatan hari ini dapat memicu kita untuk tidak sekadar “menunggu” dampak perubahan iklim, melainkan aktif bertindak guna mencegah dampaknya bagi seluruh kehidupan satwa liar di Indonesia.

---

Artikel ini ditulis oleh Profesor Jatna Supriatna, pakar biologi konservasi dari Universitas Indonesia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 6 Mei 2024

  • 5 Mei 2024

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan