Lemah Pencegahan, Meluas Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan mencapai 267 ribu hektare dan terus meluas. Bambang Hero Saharjo dari IPB menyebutkan pemerintah tergagap.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terus mengganas. Berdasarkan Sistem Informasi Pemantauan Kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas area yang terbakar per Agustus lalu sudah mencapai 267 ribu hektare. Angka ini sudah melampaui luas area terbakar pada 2022, yang seluas 204.894 hektare.
Menurut saya, area terbakar akan meluas, bahkan dapat melebihi angka pada 2021, yakni 358 ribu hektare, ataupun pada 2020, yang seluas 296 ribu hektare. Prediksi ini saya sampaikan karena sampai sekarang KLHK tak kunjung merilis data area terbakar per September 2023.
Yang membikin miris, kebakaran tahun ini juga marak terjadi di banyak kawasan konservasi. Padahal area tersebut penting untuk menjaga simpanan karbon di bumi; melestarikan manfaat ekosistem, seperti air bersih dan udara sejuk; serta menjaga keberagaman hayati kita.
Parahnya, kebakaran tahun ini dipicu oleh fenomena cuaca El Nino yang mengakibatkan kemarau panjang. Namun kondisi tersebut bukanlah penyebab utama. Saya cenderung menyatakan kebakaran parah pada tahun ini lebih disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian kebakaran, khususnya sistem pencegahan, dari tingkat pusat sampai tingkat tapak.
Relawan berupaya memadamkan kebakaran lahan di Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, 6 Oktober 2023. ANTARA/Bahaudin Qusairi
Gagap Mencegah Api
Pemerintah sebenarnya mengadakan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan sejak akhir tahun lalu. Namun, tetap saja, otoritas seperti “terlena” oleh rendahnya angka kasus amukan api tiga tahun terakhir—yang didukung oleh fenomena La Nina beruntun sehingga kemarau saat itu cenderung lebih basah.
Rapat tersebut semestinya menjadi pemantik pemerintah untuk memeriksa ulang secara besar-besaran kesiapan semua pihak menghadapi El Nino pada 2023.
Sayangnya, kita belum melihat hasil yang signifikan dari rapat tersebut sampai hari ini. Beberapa wilayah tampak tergagap menghadapi hebatnya kebakaran yang terjadi di luar dugaan.
Baca: Hutan Terbakar karena Pemerintah Tak Peduli
Pemerintah semestinya memanfaatkan rapat tersebut untuk membentuk tim khusus yang independen guna mengaudit kepatuhan terpadu pencegahan kebakaran. Audit ini bertujuan melihat kepatuhan dan kesiapan semua pihak—pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta perusahaan—menghadapi risiko amukan api pada musim kemarau.
Melalui pemeriksaan ini, kita dapat mengetahui peralatan apa saja yang perlu ditambahkan agar upaya pencegahan dapat berjalan optimal. Audit juga menjadi kesempatan bagi berbagai pihak terkait untuk memperkuat kerja sama mereka dalam meredam kebakaran hutan dan lahan.
Saya memimpin pelaksanaan audit tersebut pada 2014 di Riau di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Hasilnya, dari 17 perusahaan yang saya periksa, tidak ada satu pun yang mematuhi aturan pencegahan kebakaran. Hanya ada satu kabupaten yang memenuhi kewajibannya.
Saat ini audit tersebut tidak dilakukan lagi. UKP4 pun sudah dibubarkan oleh presiden. Pemeriksaan kepatuhan hanya dilakukan tim pengawas di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Beberapa daerah sebenarnya juga melakukan langkah khusus, seperti menetapkan status siaga kebakaran hutan sejak awal 2023. Namun kita tidak mengetahui sejauh mana status tersebut diikuti aksi yang cukup.
Foto udara kondisi lahan pasca kebakaran di Pos Watu Gede, kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, 15 September 2023. ANTARA/Muhammad Mada
Kewalahan di Lapangan
Lemahnya pengendalian kebakaran, khususnya pencegahan, membuat api dengan leluasa menjalar di tengah musim kering. Vegetasi, khususnya tumbuhan bawah dan rumput, tampak menguning karena kekurangan air sehingga menjadi bahan bakar yang sangat sensitif terhadap terjadinya kebakaran karena tinggal menunggu pemicu.
Kita bisa menyaksikan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang terbakar, api tidak hanya melahap vegetasi yang berada di permukaan, tapi juga hingga ke puncak bukit.
Belum lagi bila lahan bergambut tak dikelola dengan baik, yang juga akan mudah mengering dan sensitif terhadap kebakaran. Kebakaran gambut inilah yang mengakibatkan timbulnya bencana asap saat ini dan menambah parah emisi karbon di atmosfer.
Melalui siaran televisi, saya juga melihat pemadaman api dilakukan seadanya melalui selang yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan panjangnya tak memadai. Jumlah petugasnya pun terbatas. Di beberapa lokasi, saat petugas melakukan verifikasi lapangan di wilayah korporasi di Riau, kebakaran tampak dibiarkan oleh pemilik konsesi.
Amukan api juga berisiko meluas karena berlangsung di kawasan yang jauh dari sumber air. Hal ini tentu saja membuat luas area terbakar bertambah.
Selain itu, di suatu provinsi dan/atau satu kabupaten terjadi kebakaran di beberapa lokasi pada waktu bersamaan. Hal ini diperparah oleh sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang tidak memadai. Dapat dibayangkan seperti apa upaya pemadaman yang dilakukan.
Di sebagian wilayah, kondisi ini seakan-akan tidak berubah. Tak ubahnya dengan kondisi yang terjadi saat kebakaran hebat melanda Indonesia pada 2015.
Saat melakukan verifikasi lapangan terhadap korporasi yang diduga terkait dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, saya mendapati daerah-daerah bergambut rawan kebakaran, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, sangat kekurangan peralatan pemadaman api. Padahal peralatan ini diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan tanpa Membakar.
Setidaknya peralatan pemadaman api ini terbagi dalam lima kelompok:
1. Peralatan individu (helm dan masker)
2. Peralatan kelompok (menara pengintai api dan drone)
3. Perkakas tangan (penepuk api dan sekop api)
4. Pompa air dan aksesori (tangki air dan pompa)
5. Alat komunikasi dan pengolahan data (GPS dan megafon)
Tanpa peralatan tersebut, petugas lapangan akan kesulitan memadamkan api, apalagi jika apinya sudah membesar. Akhirnya api sangat sulit dipadamkan. Pemadaman langsung di daratan merupakan tahapan krusial karena proses ini bertujuan memastikan api benar-benar padam.
Penggunaan teknologi mutakhir yang mahal, seperti helikopter untuk water bombing dari udara, juga belum tentu efektif. Tidak sedikit air yang meleset dari sasaran. Sekalipun targetnya benar, jika suhu permukaannya mencapai lebih dari 1.000 °C, air yang jatuh akan segera terevaporasi menjadi uap sehingga tidak berdampak apa pun.
Jika kebakaran sudah sedemikian parah, saya menyarankan penggunaan bahan kimia fire retardant berupa foam (busa) atau gel yang ramah lingkungan. Namun tetap saja upaya-upaya tersebut perlu dibarengi upaya pemadaman langsung di lapangan agar lebih efektif. Bakal sulit efektif meredam kebakaran tanpa dibarengi pemadaman langsung di daratan.
Api membakar hutan dan lahan (karhutla) kawasan Gunung Arjuno terlihat di Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, 5 September 2023. ANTARA/Umarul Faruq
Langkah Segera
Negara memang sudah melakukan banyak upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, termasuk mengurangi kobaran api. Di Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, kita juga melihat pemerintah sedang mengusut dugaan pelanggaran hukum oleh perusahaan yang diduga menyebabkan kebakaran.
Beberapa korporasi terduga itu juga pernah ditindak oleh negara dalam perkara yang sama beberapa tahun lalu. Sebagian besar korporasi yang diproses terkait dengan pelanggaran hukum yang dilakukan berada di lahan gambut.
Namun langkah ini belum cukup. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mencegah api membesar atau mengatasi kobaran di titik api yang baru.
Penanganan kebakaran ini tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah pusat ataupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Pemerintah daerah juga harus memprioritaskan sumber daya dan anggarannya untuk mengendalikan kebakaran, termasuk memadamkan api dan mengatasi efek negatifnya bagi masyarakat di daerah masing-masing.
Patut diingat bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita harus bisa memastikan musim kering kali ini tidak memperparah dampak buruk, seperti kerusakan lingkungan, gangguan pernapasan, dan gangguan ekonomi bagi masyarakat.
---
Artikel ini ditulis oleh Bambang Hero Saharjo, guru besar perlindungan hutan di IPB University, Bogor. Terbit pertama kali di The Conversation.