maaf email atau password anda salah


Menguak Dampak Larangan Penelitian Lingkungan

Pemerintah melarang sejumlah peneliti asing meriset hutan Indonesia. Dinilai sebagai bentuk represi terhadap akademikus.

arsip tempo : 173057887058.

Orangutan (Pongo Pygmaeus) di Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Nyaru Menteng di pinggiran Palangkaraya, Kalimantan Tengah. REUTERS/Dadang Tri. tempo : 173057887058.

September tahun lalu, pemerintah Indonesia melarang beberapa ilmuwan terkemuka meneliti di hutan tropisnya yang sangat luas. Kebanyakan mereka sudah meneliti topik ini sejak puluhan tahun silam.

Alasannya, sebagian besar karena menerbitkan riset yang menyatakan bahwa populasi orangutan Kalimantan dalam bahaya. Mereka juga menulis artikel opini yang menyanggah klaim pemerintah seputar pulihnya populasi orangutan.

Kegiatan para peneliti ini jelas membikin berang seseorang yang berkuasa. Tak butuh waktu lama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan surat yang menuduh para peneliti tersebut menulis dengan “iktikad buruk” yang dapat “mendiskreditkan” pemerintah. Walhasil, mereka tidak boleh lagi masuk hutan untuk meneliti.

Baca: Ancaman Pencekalan bagi Peneliti Asing

Saya bersama kolega menerbitkan hasil riset yang menelaah risiko tentang ulah pemerintah Indonesia ini.

Api membakar hutan dan lahan di Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 24 Juni 2023. ANTARA/Bayu Pratama S

Mengkhawatirkan nan Mengejutkan

Reaksi pemerintah Indonesia adalah sinyal yang mengkhawatirkan.

Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang spektakuler. Hutan tropisnya juga merupakan salah satu yang terluas di dunia.

Populasi dan pertumbuhan ekonomi negara kepulauan ini terus menggeliat. Sayangnya, tren tersebut telah mengorbankan keutuhan alam Indonesia sejak beberapa dekade silam.

Di sisi lain, aksi pemerintah juga mengejutkan. Sejak beberapa tahun lalu, angka pembabatan hutan jauh berkurang hingga dua pertiga dari sebelumnya. Pemerintah juga agresif mengatasi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan perambahan untuk perkebunan. Capaian ini luar biasa.

Jadi, apa alasan sikap keras pemerintah terhadap para peneliti? Ini kemungkinan terjadi karena Indonesia sudah mencatatkan capaian yang positif di bidang lingkungan. Para penguasa menginginkan prestasi mereka diakui, bukan dikritik.

Sikap adil dari peneliti dan pengakuan mereka tentang kemajuan yang terjadi memang penting. Namun, hal yang jauh lebih pokok adalah bagaimana pemerintah menghormati kerja-kerja para ilmuwan, meskipun hasilnya bukanlah sesuatu yang mereka (pemerintah) ingin dengar.

Aksi represif ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Tiga tahun lalu, peneliti David Gaveau dideportasi dari Indonesia setelah menayangkan perkiraan angka kebakaran hutan yang lebih besar daripada versi pemerintah.

Bagi peneliti lokal dan luar negeri, tekanan ini sangat terasa. Banyak dari mereka yang curhat kepada saya ataupun kawan-kawan. Mereka merasa dipaksa untuk menerbitkan berita baik, atau setidaknya menghindari penyiaran berita buruk.

Perkebunan kelapa sawit di Sepaku, Kalimantan Timur, 8 Maret 2023. REUTERS/Willy Kurniawan

Pemerintah Harus Terbuka terhadap Kritik yang Benar

Pelaku konservasi dan peneliti sudah lama menentang pengekangan ataupun kekerasan di negara-negara berkembang pemilik hutan yang luas, seperti Brasil, Kolombia, Filipina, dan Republik Demokratik Kongo.

Upaya mereka dilakukan karena ada tekanan besar yang mengancam keberadaan hutan. Permintaan ataupun perkembangan ekonomi kerap mengarah pada eksploitasi rimba-rimba yang tersisa.

Penurunan deforestasi menunjukkan pengelolaan hutan Indonesia dalam beberapa hal memang membaik. Namun, masih ada beberapa aspek yang patut menjadi perhatian.

Dalam beberapa dekade terakhir, banyak hutan telah dibabat dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan bubur kayu. Perburuan mineral penting yang mendukung transisi hijau, seperti nikel, turut merusak perikanan dan sungai.

Ada juga pembangunan jalan yang terus meningkat di seluruh Indonesia.

Infrastruktur jalan seperti duri yang menerobos masuk ke alam raya. Ketika jalan terbangun, hutan-hutan dapat terambah seperti ikan yang dikuliti. Buldoser, gergaji mesin, hingga peralatan pertambangan dapat masuk. Akibatnya amat merusak.

Selama beberapa dekade, Indonesia terus-menerus dilanda bencana lingkungan, dari kehilangan hutan yang masif hingga asap mematikan dari terbakarnya tumbuhan. Untuk mencegah bencana serupa tidak terjadi, Indonesia membutuhkan komunitas sains yang dinamis, terbuka, dan terbebas dari kekangan pemerintah.

---

Artikel ini ditulis oleh Bill Laurance, profesor riset lingkungan James Cook University, Cairns, Australia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024

  • 31 Oktober 2024

  • 30 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan