Menguak Akar Perburuan Trenggiling
Populasi trenggiling Indonesia anjlok 80 persen dalam dua dekade akibat perburuan. Sisiknya dijual ke Cina untuk dijadikan obat.
Awal Juni lalu, polisi menyita 282 kilogram sisik trenggiling di Medan, Sumatera Utara. Sebulan sebelumnya, aparat juga menyita 360 kg sisik trenggiling di Kalimantan Selatan.
Trenggiling sitaan di Medan dan Kalimantan Selatan termasuk jenis satwa dilindungi, yaitu trenggiling Sunda/Sunda pangolin atau Manis javanica dalam nama ilmiahnya. Si Manis adalah satu dari empat jenis trenggiling yang ada di Asia. Ada empat jenis lainnya yang tersebar di Afrika.
Semua jenis trenggiling memiliki beragam status konservasi: antara vulnerable (rentan) dan critically endangered (kritis terancam), bergantung pada jenisnya. Khusus trenggiling Sunda, statusnya adalah critically endangered alias satu langkah lagi menuju kategori extinct in the wild (punah di alam). Selama 1998-2019, populasi trenggiling Sunda diperkirakan anjlok hingga 80 persen.
Baca: Si Manis Terancam Punah
Trenggiling merupakan satwa yang paling banyak diselundupkan di dunia. Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Terancam (CITES) memasukkan semua jenis trenggiling ke dalam Appendix I. Artinya, perdagangan antarnegara secara langsung dari alam dilarang. Perdagangan hanya dapat dilakukan lewat hasil penangkaran terdaftar di Sekretariat CITES.
Meski tingginya tekanan perburuan sudah diakui secara internasional, penyelundupan trenggiling masih saja terjadi. Trennya bahkan meningkat seiring dengan naiknya taraf hidup masyarakat Cina—negara pasar terbesar perdagangan trenggiling global. Indonesia diperkirakan kehilangan sekitar 10 ribu individu trenggiling setiap tahun akibat perdagangan ilegal ini.
Barang bukti sisik trenggiling saat rilis kasus di Kantor SPORC Kalbar di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, 15 Juni 2023. ANTARA/Jessica Helena Wuysang
Sejarah Perburuan Trenggiling di Indonesia
Trenggiling Sunda merupakan jenis yang dijumpai di Indonesia, yaitu di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Ada juga sedikit populasi di pulau kecil, seperti Pulau Bangka, Belitung, dan Nias. Pulau Bali dilaporkan juga sebagai wilayah persebaran trenggiling walaupun kesahihannya masih perlu dibuktikan.
Trenggiling menghuni hutan alam primer dan sekunder. Mereka menyukai wilayah yang cenderung lembap, kaya akan serasah dan pohon lapuk. Mamalia pemakan semut dan tak bergigi ini juga mampu hidup di kebun sawit, tapi menjadi petaka karena trenggiling semakin mudah diburu dan diangkut.
Pengetahuan tentang sifat biologis trenggiling masih belum terkuak luas, khususnya spesies di Asia. Ironisnya, kebanyakan trenggiling hanya diketahui dari gambaran hasil sitaan.
Sepanjang sejarah, trenggiling telah diburu secara rutin. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan masyarakat tradisional di Indocina (dari Myanmar, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Cina, hingga Korea) bahwa sisik trenggiling manjur memperlancar tekanan darah, memperlancar pasokan air susu ibu, dan lainnya. Trenggiling sebagai bahan racikan obat pun tercatat dalam buku ramuan tradisional (Pharmacopoeia).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa perdagangan sisik trenggiling dari seluruh dunia sudah terjadi dan tercatat sejak 1860 ke Cina. Yang menarik, ekspor trenggiling dari Indonesia ke Hong Kong sudah tercatat sejak 1925, bahkan kemungkinan lebih awal lagi. Menurut catatan itu, pengiriman sepikul (60 kg) sisik trenggiling dari Batavia ke Hong Kong dihargai senilai 125 gulden atau setara dengan Rp 18,5 juta saat ini.
Sisik kering trenggiling dijual dalam bentuk lembaran kulit yang mempunyai berat 700-800 gram per lembar. Sisik ini kemungkinan menunjukkan ukuran trenggiling remaja (sub-adult) ke dewasa.
Saat itu, ekspor trenggiling Indonesia ke Hong Kong saja diperkirakan 4.000-5.000 ekor per tahun. Kemungkinan besar masih berupa panenan dari Pulau Jawa.
Secara khusus, kenaikan taraf hidup masyarakat Cina turut melonjakkan permintaan daging dan sisik trenggiling, selain untuk pengobatan, juga untuk bahan makanan. Hal ini menyebabkan perburuan semakin tidak terkendali.
Hasil penelitian pada 2016-2017 terhadap para dokter rumah sakit dan toko obat tradisional resmi di dua provinsi di Cina menemukan bahwa obat tradisional berbahan baku trenggiling merupakan komoditas yang banyak diminta pasien di 66 persen rumah sakit dan 34 persen toko obat. Jumlah permintaan obat ini selalu melebihi stok yang tersedia.
Perburuan habis-habisan menyebabkan populasi trenggiling di kawasan Indocina berada di titik nadir. Ini ditandai dengan semakin susahnya mendapatkan individu trenggiling di wilayah Indocina. Populasi di satu provinsi di Cina pada 1960-an dilaporkan mencapai 100 ribu ekor, tapi turun 70-90 persen pada 2000-an.
Para pemburu dan penyelundup tak menyerah. Mereka memperluas wilayah operasinya pada awal 2000-an: keluar dari kawasan Indocina dan menyasar semua jenis trenggiling yang ada di dunia. Itulah sebabnya, perburuan besar-besaran bergeser ke negara Asia, seperti Indonesia, dan terakhir adalah Afrika.
Di wilayah Afrika, trenggiling cenderung lebih mudah ditangkap. Sebab, selain karena pengawasan yang cukup lemah, trenggiling Afrika mudah terlihat lantaran banyak berkelana di permukaan tanah dengan topografi yang landai. Ukurannya pun lebih besar dari jenis di Asia.
Sebaliknya, trenggiling di Indonesia bersembunyi di lubang-lubang tanah atau perakaran pohon besar dengan topografi berbukit dan padat tegakan (banyak pohon). Kebiasaan hidup menyendiri (soliter) menjadikan trenggiling sebagai salah satu satwa yang susah dijumpai. Walau begitu, sebaran populasi trenggiling yang sangat luas, banyaknya pintu keluar informal, serta kondisi ekonomi di perdesaan membuat tekanan perburuan trenggiling di Indonesia tetap tinggi.
Sejak 2007, pemerintah Cina sebenarnya menetapkan bahwa sisik atau bagian tubuh trenggiling hanya bisa digunakan sebagai racikan obat tradisional oleh perusahaan yang terdaftar sebagai produsen. Namun, sejak kasus pandemi Covid-19 merebak, pemerintah Cina pada Mei 2020 menerbitkan peraturan yang melarang penggunaan bagian tubuh trenggiling sebagai bahan dasar racikan obat tradisional. Larangan ini diduga terbit karena ada kemungkinan virus corona berasal dari aktivitas perdagangan trenggiling.
Ketetapan ini masih menjadi pertanyaan besar dunia. Pasalnya, pemerintah Cina juga masih membuka kesempatan pemanfaatan pada industri besar obat tradisional terdaftar.
Selain di Cina, trenggiling digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika dan India. Namun tingkat penggunaannya tidak seberbahaya kawasan Indocina. Di Indonesia, belum ada catatan yang menemukan penggunaan trenggiling dalam racikan obat tradisional.
Trenggiling. FREEPIK
‘Budi Daya’ Trenggiling yang Nyaris Mustahil
Apakah trenggiling mudah dikembangbiakkan di luar habitat aslinya? Para ahli menyimpulkan hal ini sangat susah.
Bahkan, sekalipun dikomersialkan, bisnis "budi daya" trenggiling diduga bakal sulit balik modal dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya pemahaman ekologi dan fisiologi satwa tersebut.
Pakan utama trenggiling juga sangat spesifik: harus mengandung asam semut. Pakan ini hanya tersedia mayoritas dari telur, pupa, larva semut, serta dari kelompok rayap dan mikrofauna lainnya.
Secara komersial, harga pakan alami trenggiling sangat mahal. Kombinasi pakan alternatif ataupun pakan substitusi juga belum tersedia di pasaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuktikan, meski individu trenggiling muda yang diteliti mampu tumbuh berkembang dengan sangat baik, masih ada kesulitan modifikasi pakan alami serta pengkayaan (enrichment) fasilitas tangkaran untuk tujuan pengembangbiakan. Itulah sebabnya, kesuksesan pengembangbiakan trenggiling di tingkat lembaga konservasi (kebun binatang) masih sangat jarang dilaporkan.
Sementara itu, klaim dari para penangkar komersial trenggiling yang menyatakan keberhasilan mereka dalam mengembangbiakkan trenggiling secara komersial masih dipertanyakan para ahli dan belum terbukti kebenarannya. Karena itu, pelindungan populasi trenggiling semestinya tak mengandalkan upaya budi daya. Kelestarian populasi harus ditopang oleh kemauan politik negara-negara konsumen (pengimpor) untuk melarang konsumsi dan penggunaan sisik trenggiling secara bertahap.
Negara-negara "pengekspor" pun harus mengatasi perburuan dengan meningkatkan kesadaran konservasi spesies ini. Perlu juga mengupayakan solusi pendapatan alternatif sehingga para pemburu trenggiling dapat beralih pekerjaan.
Harapannya, perburuan trenggiling yang sudah berlangsung berabad-abad bisa terus menurun dan pada akhirnya tinggal sejarah.
---
Artikel ini ditulis oleh Gono Semiadi, Ni Luh Putu Rischa Phadmacanty, serta Wirdateti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.