Ketika Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Pornografi
Perempuan sering tersudutkan atas beredarnya video yang bermuatan pornografi. Padahal dia tidak ingin video menyebar.
MEDIA online akhir-akhir ini ramai memberitakan tentang kasus video syur yang beredar di media sosial. Pemeran perempuan dalam video itu disebut-sebut mirip dengan anak seorang musikus terkenal. Saya ingin bertanya, apakah secara hukum perempuan dalam video itu dapat dipidanakan meski ia bukan penyebar konten pornografi tersebut?
Perempuan sering tersudutkan atas beredarnya video yang bermuatan pornogafi. Padahal dia tidak pernah memiliki niat menyebarkan video tersebut. Dalam sejumlah kasus, video tersebut dicuri lalu disebarkan oleh orang lain tanpa sepengetahuan orang yang berperan dalam video itu.
Mohon penjelasan. Terima kasih.
Ratih
Depok, Jawa Barat
Ilustrasi konten pornografi di internet. Shuterstock
Jawab:
Halo Ratih. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami jelaskan lebih dulu bahwa pornografi di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang, di antaranya:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi).
Dalam hal perbuatan menyebarkan konten pornografi di media sosial, UU Pornografi menjadi lex specialis (hukum yang khusus) dibanding UU ITE dan KUHP. Baik UU Pornografi, UU ITE, maupun KUHP dapat berlaku untuk menindak penyebar video porno melalui media sosial.
Dalam KUHP tidak dikenal istilah pornografi. Namun dalam aturan tersebut terdapat pasal yang dapat digunakan untuk menjerat penyebar konten video porno, yaitu Pasal 282 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran, atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran, atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya, atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Dalam UU ITE, istilah pornografi disebut “muatan yang melanggar kesusilaan”. Perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat 1, yang berbunyi:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dalam UU Pornografi, pengertian pornografi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Definisi yang terdapat dalam UU Pronografi tersebut dapat kita gunakan dalam pembahasan ini. Sedangkan pelarangan atas penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui Internet atau media sosial, diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi, yaitu:
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Pelanggaran atas Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi, yaitu:
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah seorang perempuan dalam sebuah konten video syur dapat dipidanakan, padahal dia tidak tahu ataupun tidak terlibat dalam penyebaran konten tersebut?
Dalam konteks keberlakuan UU Pornografi, orang yang berperan dalam video, tapi tidak menghendaki video itu disebarkan, seharusnya tidak dapat dipidanakan. Orang yang “tidak menghendaki” tentu “tidak mengetahui” atau “tidak memberikan izin” kepada pihak lain untuk menyebarkan video tersebut.
Terdapat batasan penting dalam UU Pornografi bahwa pihak-pihak yang melakukan perbuatan “membuat” pornografi tidak dapat dipidana apabila dilakukan untuk tujuan pribadi dan kepentingan sendiri. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 UU Pornografi yang menyebutkan bahwa perbuatan membuat pornografi tidak bisa dipidana apabila dilakukan untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan pribadi.
Pasal 6 UU Pornografi juga menyebutkan larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Ilustrasi konten pornografi di internet. Shuterstock
Dalam risalah pembahasan UU Pornografi juga dijelaskan bahwa yang didefinisikan sebagai perbuatan pidana adalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di ruang publik, ada aspek mendasar, yaitu harus ditujukan untuk ruang publik.
Sedangkan dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE diatur tentang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, tujuannya adalah untuk mecegah penyebaran konten melanggar kesusilaan di ranah publik, seperti media sosial.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE ini merujuk pada ketentuan dalam Pasal 282 ayat 2 KUHP tentang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran, atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan. Juga merujuk pada ketentuan UU Pornografi sehingga dapat disimpulkan bahwa batasan untuk dapat dijerat dengan UU ITE dan KUHP harus benar-benar ditujukan kepada publik. Harus juga telah diketahui oleh pelaku sebagai konten yang melanggar kesusilaan.
Namun kenapa faktanya orang yang berada dalam video yang tersebar tersebut—walau disebarkan tanpa konsensual—sering diproses secara hukum? Hal ini termasuk kasus terbaru yang diduga melibatkan anak seorang musikus terkenal. Dalam kasus seperti ini, kepolisian biasanya mengkonstruksikan perbuatan itu sebagai “kelalaian” orang yang berperan dalam video karena menyebabkan pihak lain dapat mengakses dan menyebarkan video tersebut.
Namun, dalam pandangan kami, mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan sebagaimana telah diuraikan di atas, orang yang berada dalam video bermuatan konten pornografi, sepanjang video tersebut dibuat untuk kepentingan diri pribadi, dan ia tidak menghendaki video yang dibuatnya disebarkan oleh pihak-pihak lain, tidak dapat dipidana.
Masih berhubungan dengan pembahasan ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada 26 April 2011 juga menegaskan, antara lain, bahwa memiliki dan menyimpan produk pornografi untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri tidak dilarang.
Dengan demikian, dalam kasus yang ditanyakan Ratih di atas, bisa disimpulkan bahwa perempuan dalam video syur yang disebarkan ke media sosial oleh pihak lain tidak dapat diproses secara hukum atau tidak dapat dipidanakan. Bahkan perempuan tersebut bisa disebut sebagai korban penyebaran video.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta