maaf email atau password anda salah


Kejahatan Berulang pada Korban Kekerasan Seksual

Polri perlu meningkatkan pengawasan terhadap kualifikasi aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual.

arsip tempo : 172751153663.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Freepik. tempo : 172751153663.

HALO pengasuh Klinik Hukum Perempuan, perkenalkan saya Gratia. Baru-baru ini ramai diberitakan tentang seorang remaja putri di Tanjungpandan, Belitung Timur, yang menjadi korban kekerasan seksual, justru mendapat perlakuan buruk ketika melaporkan kasusnya ke kepolisian. Bahkan remaja putri itu kembali dilecehkan secara seksual oleh petugas. Fakta ini makin menegaskan bahwa proses hukum belum berpihak kepada korban. Tidak mengherankan, banyak korban kekerasan seksual berpikir ulang untuk melapor karena proses penanganannya sering tidak memberikan rasa aman dan nyaman.

Apakah petugas kepolisian yang terbukti tidak profesional dalam menangani korban kekerasan seksual bisa mendapat hukuman yang lebih berat? Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan korban kekerasan seksual agar tidak kembali menjadi korban ketika melaporkan kasusnya ke kepolisian?  

Jawaban:

Halo, Gratia. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Dari pertanyaan Anda, kami juga turut merasakan kekecewaan atas kekerasan seksual yang dilakukan oleh polisi kepada korban. Kejadian ini seperti dejavu. Kami mengajak Anda untuk mengingat kembali ironi korban kekerasan seksual yang diperkosa oleh petugas Rumah Aman yang viral pada 2020.

Ada kesamaan dalam kedua kejadian tersebut, yaitu korban kekerasan seksual mengalami reviktimisasi dari petugas pada lembaga yang berfungsi melindungi korban. Petugas kepolisian dan petugas Rumah Aman telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, dan kepercayaan dengan memanfaatkan kerentanan yang dimiliki korban. Kerentanan apa yang dimanfaatkan oleh pelaku?

Untuk kasus yang terjadi di Belitung Timur, korban adalah siswi sekolah menengah pertama. Korban tinggal di panti dan selama dua tahun terakhir mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pemilik panti. Pada suatu waktu, korban berkesempatan meninggalkan panti ditemani oleh temannya. Mereka datang ke kantor polisi untuk melapor. Namun, bukan layanan bantuan yang didapat, korban justru kembali menjadi korban kekerasan seksual. Kali ini pelakunya petugas kepolisian. 

Dilihat dari latar belakang tersebut, situasi korban sebenarnya sudah rentan. Apalagi setelah terjadi kekerasan seksual. Korban yang tinggal di panti menunjukkan bahwa tidak ada dukungan sistem yang berasal dari keluarga. Korban masih bersekolah sehingga mengandalkan dukungan penghidupan terbatas dari panti. Ini menimbulkan ketergantungan dan relasi kuasa yang dimanfaatkan oleh pemilik panti (pelaku 1). 

Selanjutnya, korban datang ke kantor polisi bersama temannya untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi. Kedatangan korban tanpa didampingi orang tua/wali/pendamping kasus sudah menunjukkan kerentanannya sendiri. Ternyata itu dimanfaatkan oleh petugas kepolisian (pelaku 2) sehingga terjadi kekerasan seksual berulang. 

Jika dicari persamaan, kedua pelaku adalah orang-orang yang seharusnya melindungi korban. Namun mereka sama-sama menyalahgunakan kedudukan, wewenang, dan kepercayaan dengan memanfaatkan kerentanan yang dimiliki korban. Ingat, dampak kekerasan seksual makin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik.

Lalu, apa jerat pidana bagi kedua pelaku atas kekerasan seksual yang dilakukan?

Pasal 6 huruf c Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), berbunyi: “Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.  

Berdasarkan bunyi Pasal 6 huruf c UU TPKS, kedua pelaku bisa dijerat secara pidana menggunakan ketentuan tersebut. Selain itu, mereka bisa dikenai perberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 ditambah satu pertiga jika: dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga (Pasal 15 huruf c UU TPKS). 

Dalam penjelasan pasal tersebut, penjagaan dilakukan antara lain pada satuan pendidikan, lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, lembaga internasional yang berkedudukan di Indonesia, rumah, rumah sakit, panti sosial, atau balai/loka rehabilitasi sosial.

Kedua pelaku merupakan orang yang dipercayakan atau diserahkan untuk menjaga. Pemilik panti berasal dari lembaga nonpemerintah dan petugas kepolisian merupakan bagian dari lembaga pemerintah. Namun, mengingat korban masih di bawah umur, penanganan kasus kekerasan seksual menggunakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Kualifikasi Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kekerasan Seksual

Penanganan kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Belitung Timur itu tentu akan merusak tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Korban enggan melapor karena khawatir akan menjadi korban untuk kedua kalinya. Lalu, bagaimana upaya pemerintah—dalam hal ini Polri—untuk mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat? 

Pertama, Polri perlu meningkatkan pengawasan terhadap kualifikasi aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual. Dalam UU TPKS, aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) yang menangani perkara kekerasan seksual harus memenuhi persyaratan: 

a. memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban; 

b. telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 21 ayat 1 UU TPKS). 

Penetapan kualifikasi tersebut bertujuan agar aparat penegak hukum menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, dan tanpa intimidasi. Mereka juga dituntut tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban.  

Kedua, Polri perlu meningkatkan komitmen dalam penanganan kasus kekerasan seksual sebagai bukti keberpihakan kepada korban karena dampak kekerasan seksual sangat mempengaruhi hidup korban. Negara memiliki kewajiban memenuhi hak korban dalam penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.

Korban juga perlu mendapat pendamping kasus berperspektif korban dan memiliki sensitivitas gender. Pendampingan ini penting untuk membantu korban selama proses pelaporan kasus, penanganan, dan pemulihan. Dengan penanganan semacam itu, diharapkan tidak ada pihak yang lain yang memanfaatkan celah kerentanan korban. Ingat, kekerasan seksual makin marak terjadi di masyarakat yang menimbulkan dampak luar biasa bagi korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik.  

Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 September 2024

  • 27 September 2024

  • 26 September 2024

  • 25 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan