maaf email atau password anda salah


Kesenian dan Tanah Yang Bergetar

Sebuah percakapan kritis dan reflektif atas dukungan praktik pendanaan pemerintah pada ekosistem seni pertunjukan

arsip tempo : 172921610216.

Pertunjukan Seni Kontemporer. tempo : 172921610216.

Kesenian kita menginjak tanah yang selalu bergetar bernama politik. Administrasi kepresidenan dari masa ke masa memberikan nuansa kebijakan publik yang berbeda. Keberpihakan pemerintah pada agenda pengembangan seni juga bervariasi. Sepuluh tahun terakhir misalnya, kita melihat dukungan pendanaan dari pemerintah sudah tersedia seperti Dana Indonesiana dan Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK). Sebelumnya pendanaan nampak lebih berorentasi pada ekonomi kreatif. 

Permasalahannya, jika pendanaan itu diletakkan di atas tanah politik dan kebijakan yang bergetar dan cenderung akan berubah-ubah, bagaimana kita yang berada di atas tanah itu bisa bertahan dan tetap berdiri tegak. Tulisan ini mengajukan percakapan kritis dan reflektif atas dukungan praktik pendanaan pemerintah pada ekosistem seni kita, dalam hal ini bidang seni pertunjukan.

Pertama perlu dikenali dulu dua watak utama bidang seni pertunjukan kita, utamanya adalah tari, teater dan kembangan keduanya. Watak pertama adalah pertumbuhan dan praktik yang menyebar di seluruh Indonesia. Hampir di semua kabupaten/kota kita bisa menemukan seniman teater atau tari. Hal ini berbeda dengan bidang film atau seni rupa misalnya, yang terpusat di beberapa kota saja seperti Jakarta, Yogya, dan Bandung. 

Watak kedua, perlunya usaha lebih keras untuk melihat capaian estetika termutakhir. Ini terjadi karena sangat minim -bahkan nyaris tidak ada- wahana (platform) nasional yang bisa menjadi ruang presentasi yang terprogram dan berkesinambungan. Ketika bidang tari mempunyai Indonesian Dance Festival (IDF) yang berusia tiga dekade, bidang teater tidak bernasib sama. Wahana presentasi pada teater timbul-tenggelam tergantung kebijakan dan dana seperti yang terjadi pada Art Summit. Situasi ini sangat kontras dengan maraknya hajatan presentasi di bidang film dan seni rupa secara nasional. Capaian estetika pada teater, dengan demikian, hanya akan dikenali lewat festival lebih kecil di tingkat propinsi atau kota.

Lewat kedua watak ini kita sudah bisa membayangkan bagaimana pendanaan sebaiknya bergerak dan berkontribusi. Sejak akhir 1990-an perhatian pada eksplorasi estetika justru dikenali dari penerima Hibah Seni Yayasan Kelola. Artinya, praktik pendanaan juga punya potensi membandingkan dan memperhatikan capaian estetika. Anda bisa memakai kata benchmarking kalau mau. Proses ini terjadi karena pendanaan dilengkapi dengan kerja penjurian dalam panel, fasilitasi manajerial, pencatatan proses, dokumentasi dan juga publikasi ke pemangku kepentingan. Sebagian tugas tadi juga sudah dilakukan pendanaan pemerintah ini, sekalipun belum semua. 

Penyediaan dana juga menumbuhkan ruang hidup seni pertunjukan lewat bagaimana dana itu disebarkan. Penyediaan dana yang besar namun tidak berkesenimbungan malah berpotensi mematikan ruang hidup kesenian. Itu sebabnya dalam wacana pendanaan dikenal istilah micro fund, dana hibah berjumlah tidak terlalu besar sebagai stimulus tumbuh karya. Dana seperti ini penting karena para pekerja seni akan mulai mengenali sumber daya lain di sekitarnya untuk melengkapi micro fund itu dalam pergerakan seni mereka. Dana Indonesiana sebaiknya juga memberi dukungan pada institusi yang punya sejarah dan orientasi menyediakan micro fund. Penyedia hibah stimulus seperti ini akan menjadi mediator pekerja seni dengan negara. Pekerja seni juga punya kesempatan mengelola dana kecil sebelum berurusan dengan dana besar. Percayalah, mengelola uang juga butuh pengalaman dan pengetahuan. 

Karena disediakan dalam skala nasional, proses penjurian proposal dana pemerintah juga menggunakan komponen penilaian yang bersifat afirmatif, selain yang substantif. Yang afirmatif ini akan memastikan bahwa proposal dari kawasan 3T atau provinsi dengan IPK (Indeks Pemajuan Kebudayaan) di bawah rata-rata nasional akan mendapatkan nilai tambahan. Inklusivitas gender dan partisipasi komunitas difabel juga berkontribusi pada nilai afirmatif. Proses penjurian memastikan pemberian dana membuka akses dan lebih demokratis. Hal ini sangat penting dan perlu diteruskan. Tantangannya, proposal dengan substansi yang bagus namun tidak punya nilai afirmatif akan terlempar dari daftar calon penerima. Diperlukan strategi lain untuk juga mempertimbangkan konsekuensi ini.

Dengan semua catatan ini, setidaknya ada dua rekomendasi agar kita dapat bertahan di tanah bergetar ini. Pertama, perlunya konsolidasi berskala nasional dengan melibatkan pelaku-pelaku yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Konsolidasi ini akan menguatkan seni pertunjukan sebagai rimpang yang menjalar alih-alih menjadikannya satu batang pohon berskala nasional yang kuat, yang terpusat di Jawa. Pada teater, kehadiran PENASTRI (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia) merupakan langkah progresif dalam mengantisipasi pendanaan negara di atas tanah bergetar ini. Tanah pasti akan bergetar lagi, namun konsolidasi nasional diharapkan menyediakan kita tiang-tiang penyangga yang menopang rumah dan memberi kita tempat berpegangan. 

Kedua, pengembangan akses produksi dan penyebaran pengetahuan. Selain lewat Dana Indonesiana kita perlu memperluas akses ini di berbagai wahana lain. Program Temu Seni dalam Indonesia Bertutur (Intur) dan dulu dalam Art Summit adalah contoh bagaimana siasat ini akan memperluas akses pengembangan. 

Penyediaan dana oleh negara merupakan perwujudan nyata amanat UU No.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dimana negara ditugaskan untuk memfasilitasi. Selain para pekerja seni sendiri, negara juga perlu membangun sistem pendanaan yang solid agar bangunan kesenian kita lebih tahan getaran politik. Kita tentu tak mau kesenian kita bergerak dengan sumber daya seadanya.

*Penulis: Joned Suryatmoko - Pekerja seni, kandidat doktor di Theatre and Performance Program, the Graduate Center City University of New York (CUNY).

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 Oktober 2024

  • 17 Oktober 2024

  • 16 Oktober 2024

  • 15 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan