Ancaman Hukuman bagi Pelaku Perselingkuhan
Tanpa adanya gugatan cerai, kasus perselingkuhan tak dapat dilanjutkan ke pengadilan walaupun bisa dibuktikan adanya perzinaan.
Halo Klinik Hukum bagi Perempuan. Perkenalkan nama saya Nina. Saya ingin bertanya tentang seorang artis perempuan Indonesia yang diduga berselingkuh dengan pria warga negara asing. Pria itu disebut memiliki istri berkewarganegaraan Korea Selatan. Dalam sejumlah pemberitaan dikatakan bahwa pria dan artis perempuan Indonesia itu telah merebut anak kandung perempuan Korea Selatan tadi. Salah satu anaknya diketahui masih bayi.
Dari sebuah tayangan video di TikTok, saya melihat cuplikan kejadian saat perempuan asal Korea Selatan itu merebut anak-anaknya di sebuah rumah sakit. Namun ia dihalang-halangi oleh sejumlah orang, termasuk artis perempuan tersebut.
Sepengetahuan saya, perbuatan artis perempuan itu adalah pelanggaran hukum. Sebab, dia bukan ibu biologis dari anak-anak tersebut. Saya kasihan kepada perempuan Korea Selatan tersebut karena dipaksa untuk berpisah dengan anak-anak yang merupakan darah dagingnya.
Pertanyaan saya, apa ancaman pidana bagi orang yang mengambil anak orang lain secara paksa? Ke mana perempuan Korea Selatan ini harus melaporkan kasus tersebut, mengingat ia dan suaminya bukan WNI?
Terima kasih.
Nina, 24 tahun
Jakarta
Jawab:
Halo Nina. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Dari berita media yang saya baca, peristiwa yang Anda ceritakan memang viral di TikTok. Perempuan Korea Selatan itu sudah melaporkan suaminya atas dugaan perzinaan ke Polda Metro Jaya. Ia melaporkan suami dan artis perempuan itu dengan dugaan menghalangi pemberian ASI eksklusif kepada anak kandungnya. Laporan ini sudah ditangani kepolisian dan masih dalam penyelidikan.
Karena itu, kami tidak akan membahas perkara ini secara spesifik. Namun pembahasan kami fokuskan pada tiga persoalan hukum, yaitu masalah perselingkuhan (perzinaan), perebutan anak oleh orang yang tidak berhak dari ibu kandung, dan perbuatan menghalang-halangi ibu kandung untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi.
Ilustrasi korban perselingkuhan. PEXELS
Aturan Hukum Kasus Perzinaan
Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendefinisikan zina (overspel) sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan suami atau istrinya. Overspel tidak dapat diproses secara pidana tanpa adanya pengaduan. Sebab, perzinaan merupakan delik aduan absolut.
Adapun pihak yang bisa memberikan aduan adalah mereka yang dirugikan atas perzinaan tersebut, antara lain suami atau istri yang terikat dalam ikatan perkawinan. Tanpa adanya pengaduan, polisi tidak bisa melakukan tindakan apa pun atas perbuatan perzinaan. Pengaduan juga dibatasi dalam waktu enam bulan sejak peristiwa perzinaan atau dalam waktu sembilan bulan apabila pengadu/pelapor berada di luar negeri.
Perbuatan zina dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Pasal 284 yang berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:
1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya
Pasal 27 KUHPerdata: “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.”
Kasus perzinaan akan diproses oleh kepolisian jika memang diperkuat oleh bukti yang cukup, serta disertai dengan gugatan perceraian dari pihak suami/istri yang dirugikan (lihat Pasal 284 ayat 5 KUHP). Tanpa adanya gugatan cerai, kasus perzinaan tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan walaupun perzinaan tersebut bisa dibuktikan benar-benar terjadi.
Berdasarkan Pasal 284 ayat 4 KUHP, pengaduan terhadap kasus perzinaan dapat dicabut selama persidangan perkara belum dimulai. Hal ini berbeda dengan delik aduan lain yang hanya boleh dicabut sebelum batas waktu tiga bulan, dihitung mulai pengaduan diajukan. Jika melewati tiga bulan, pengaduan tidak dapat dicabut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 75 KUHP.
Adapun jika pelaku perzinaan akan dilaporkan kepada polisi, apa saja bukti perzinaan yang bisa digunakan?
Menurut Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP), setidak-tidaknya terdapat alat bukti yang sah, yaitu:
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
Jerat Hukum bagi Orang yang Merebut Anak dari Ibu Kandung
Mengenai orang lain yang merebut atau menghalang-halangi ibu kandung untuk menemui anaknya, sementara ia bukanlah orang yang berhak atas kekuasaan dan pemeliharaan anak tersebut (bukan orang tua atau wali yang sah secara hukum), maka perbuatan orang tersebut termasuk dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang/perampasan kemerdekaan terhadap anak dan perempuan yang diatur dalam Pasal 330 KUHP, yang berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Selanjutnya, apabila perbuatan ini dilakukan dengan cara tipu muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur 12 tahun, orang yang melakukan perbuatan itu diancam pidana penjara paling lama 9 tahun.
Menurut R. Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal demi Pasal, unsur-unsur dari Pasal 330 KUHP akan terpenuhi apabila:
1. Orang yang melarikan orang yang belum dewasa tersebut niatnya sengaja mencabut kekuasaan dari orang yang berhak dapat diancam dengan hukuman.
2. Pada waktu melarikan, orang itu harus mengetahui bahwa orang tersebut belum dewasa.
3. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang mencabut (melarikan), jadi bukan dengan kemauan anaknya sendiri yang lari dari orang tua tersebut.
4. Jika anak yang belum dewasa dengan kemauannya sendiri melepaskan dirinya dari kekuasaan orang tua atau walinya dan pergi meminta perlindungan kepada orang lain, dan orang tersebut menolak untuk menyerahkan kembali anak itu kepada walinya, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindakan menarik atau mencabut anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua atau walinya.
Sedangkan apabila suami dan pihak lain (yang diduga sebagai selingkuhan suami) menghalangi ibu kandung untuk menyusui bayinya yang ada dalam penguasaan suami, perbuatan tersebut melanggar Pasal 42 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang berbunyi:
1. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis.
2. Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia 2 tahun disertai pemberian makanan pendamping.
3. Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
4. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan di tempat kerja dan tempat/fasilitas umum.
Sanksi Hukum Menghalang-halangi Ibu Memberikan ASI kepada Bayinya
Pemberian ASI eksklusif sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Eksklusif yang tetap berlaku walaupun telah ada pembaruan dalam UU Kesehatan.
Adapun sanksi bagi orang yang menghalangi pemberian ASI eksklusif ibu kepada bayinya diatur dalam Pasal 430 UU Kesehatan dengan ancaman pidana sebagai berikut:
Setiap orang yang menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.
Selain sanksi pidana, ibu kandung yang merasa dirugikan oleh pihak yang menghalangi pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menuntut ganti rugi materiil dengan menggunakan gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta