ODGJ dan Hoaks Seputar Pemilu
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) kerap dijadikan subyek hoaks seputar pemilu, seperti KTP untuk ODGJ dan penyerangan ke ulama.
Menjelang pemilihan umum, masyarakat kerap menjumpai beragam misinformasi di media sosial. Salah satunya isu tentang keterlibatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam pemilu secara tidak sah. Bentuk misinformasi seperti ini tidak hanya berpotensi merugikan ODGJ secara langsung, tapi juga merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu.
Jumlah penderita kesehatan jiwa di Indonesia cukup banyak. Saat ini prevalensi atau angka kejadian orang dengan gangguan jiwa di Indonesia adalah 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa.
Hoaks soal ODGJ pernah terjadi menjelang pemilihan presiden 2019. Ketika itu, muncul hoaks berbentuk foto yang menggambarkan proses pembuatan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) sekelompok individu di aplikasi WhatsApp. Narasi yang menyertainya mengungkapkan kekhawatiran mengenai praktik-praktik tidak etis untuk meraih suara, khususnya penerbitan kartu identitas bagi individu yang memiliki masalah kesehatan mental. Peristiwa ini diklaim terjadi di Bekasi, Jawa Barat.
Klaim pembuatan e-KTP yang tidak wajar menunjukkan kekhawatiran adanya praktik tidak etis untuk mendapat pengaruh, kendali, atau kekuasaan politik. Situasi ini berpotensi mendorong beredarnya spekulasi dari masyarakat mengenai manipulasi suara untuk kandidat tertentu sehingga menciptakan keresahan.
Pasalnya, walaupun kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sudah mengklarifikasi bahwa proses perekaman e-KTP, termasuk bagi ODGJ, merupakan bagian dari pelayanan administrasi kependudukan yang wajar dan penting, juga penegasan dari pihak KPU bahwa mereka tidak mendata warga yang dinyatakan gila sebagai bagian dari daftar pemilih, isu bahwa orang gila juga didata untuk memilih telanjur berkembang.
Jadi, apa saja misinformasi mengenai ODGJ yang berkembang pada masa pemilu?
Petugas Disdukcapil melakukan perekaman E-KTP kepada Warga Binaan Sosial di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Budi Murni, Cipayung, Jakarta, 2022. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W
ODGJ Tidak Mampu Membuat Keputusan
Hoaks yang sering muncul tentang ODGJ biasanya berkaitan dengan kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang rasional. Terdapat anggapan bahwa ODGJ tidak mampu memahami proses pemilu atau mudah dipengaruhi. Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkarya, bersosialisasi, atau menentukan calon mana yang cocok menjadi pemimpin.
Hoaks ini menyebar melalui media sosial, percakapan sehari-hari, dan, kadang-kadang, melalui kampanye politik yang tidak bertanggung jawab. Hoaks ini dapat mempengaruhi masyarakat umum yang tidak memiliki informasi yang cukup tentang ODGJ, serta ODGJ itu sendiri yang mungkin merasa terstigmatisasi oleh misinformasi yang tersebar.
Jenis misinformasi di atas juga berkaitan dengan keyakinan bahwa ODGJ tidak mampu membuat pilihan yang tepat. Kesalahpahaman ini dapat berakibat pada tersingkirnya mereka dari proses demokrasi dan hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam sistem pemilu.
Padahal sebuah penelitian pada 2020 yang terbit di jurnal BMC Psychiatry menunjukkan bahwa pasien psikiatri yang stabil memiliki kapasitas yang sama dengan pasien nonpsikiatri dalam membuat keputusan perihal perawatan kesehatan.
Selain itu, Health Science Report melaporkan bahwa individu dengan skizofrenia dan gangguan bipolar terbukti memiliki kompetensi yang sama dengan individu nonpsikiatri dalam mengambil keputusan tentang pengobatan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Skizofrenia yang bisa dikategorikan sebagai ODGJ berat dianggap masih bisa pulih dan stabil. Penderita seperti ini tetap mampu berpikir, memahami situasi, menentukan pilihan, dan bersikap dengan baik.
Kedua hasil penelitian tersebut mendukung gagasan bahwa individu dengan gangguan mental berkapasitas membuat keputusan yang tepat. Karena itu, sangatlah penting memusatkan upaya kita dalam memberi bantuan yang diperlukan agar mereka dapat menggunakan hak dasarnya untuk memilih. Terlebih, hak pilih ODGJ pada dasarnya dijamin dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, serta UU Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.
Warga binaan penderita sakit jiwa mengikuti sosialisasi dan pendidikan pemilih Pemilu Serentak Tahun 2019 oleh KPUD DKI Jakarta di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1 di Jakarta, 2019. TEMPO/Subekti
Memang ada beberapa ODGJ yang tidak diperbolehkan memilih dalam pemilu, yaitu ODGJ yang sedang mengalami halusinasi dan delusi yang kuat sehingga tidak dapat membedakan kenyataan. Biasanya kondisi ini membuat ODGJ kesulitan berpikir dan harus disertai juga dengan surat keterangan dari dokter spesialis kejiwaan (psikiater).
Situs web resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan seseorang boleh dicoret dari daftar peserta pemilu jika dibekali surat keterangan dari profesional bahwa orang tersebut menderita gangguan jiwa permanen.
Artinya, selama ODGJ dalam kondisi stabil dan cukup baik, individu tersebut masih boleh memilih secara langsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Surat dari psikiater juga tidak diperlukan karena hanya untuk menegaskan bahwa yang bersangkutan tak bisa memilih lantaran kondisinya.
ODGJ Rentan Menyerang
ODGJ merupakan kelompok yang sering mendapat stigma dan diskriminasi. Stigma ini menimbulkan kekerasan dan ketakutan, yang bahkan bisa berdampak pada keluarga penderita. Contoh dari misinformasi ini adalah maraknya isu penyerangan terhadap kaum ulama, yang menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan tersebut.
Kepala Satgas Nusantara—satuan tugas yang dibentuk oleh Polri untuk mencegah terjadinya polarisasi hingga pemberantasan hoaks pada Pemilu 2024—Gatot Eddy Pramono mengatakan prihatin atas adanya pemberitaan ataupun isu yang menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan terhadap kiai ataupun pesantren.
Apa Dampaknya?
Isu-isu yang menyudutkan ODGJ sering kali menjadi bahan bakar untuk penyebaran hoaks. Masyarakat yang tidak kritis terhadap informasi dapat lebih mudah terpengaruh oleh narasi negatif sehingga memperkuat persepsi buruk terhadap ODGJ. Situasi ini dapat menciptakan perpecahan sosial antara ODGJ dan masyarakat umum.
Selain berdampak pada masyarakat umum yang tidak memahami fakta-fakta soal ODGJ, ODGJ sendiri juga mungkin menginternalisasi misinformasi tersebut, yang membuat kesehatan mental mereka justru semakin buruk. Misinformasi tentang ODGJ tidak hanya menghambat masyarakat untuk memberikan kesempatan kedua kepada mereka agar dapat hidup harmonis dan produktif, tapi juga membatasi hak-hak mereka, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.
---
Artikel ini ditulis oleh Fitri Murfianti (Leiden University), Finsensius Yuli Purnama (Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya), Loila L.K. Perangin-angin (Swiss German University), dan Nuril Hidayah (STAI Miftahul 'Ula Nganjuk).Terbit pertama kali di The Conversation.