Menakar Efektivitas Vaksin Demam Berdarah
Sebanyak 1.183 dari 131 ribu pasien DBD meninggal sepanjang 2022. Vaksin dengue butuh cakupan hingga 86 persen agar efektif.
Demam berdarah dengue (DBD) telah lama menjadi penyakit endemik di Indonesia. Iklim tropis merupakan lingkungan yang sangat mendukung perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dengan cepat. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan jumlah kasus DBD dibanding data pada dua dekade yang lalu.
Data Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD meningkat secara signifikan dari 2021 (sekitar 73.500 kasus dengan 705 kematian) dan 2022 (sekitar 131.200 kasus dengan 1.183 kematian). Dengan gejala yang serius dan berpotensi fatal, DBD menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat, terutama bagi anak-anak dan orang dewasa muda. Maka, persetujuan edar vaksin dengue untuk usia 6-45 tahun di Indonesia pada September 2022 menjadi kabar baik yang dinantikan.
Saat ini, vaksin dengue QDENGA® telah beredar di Indonesia. Vaksin tersebut terdaftar atas nama PT Takeda Indonesia dan diproduksi oleh IDT Biologika GmbH, Jerman. Namun apakah dengan vaksin tersebut Indonesia akan terbebas dari DBD dalam waktu dekat? Apalagi vaksinasi untuk DBD belum termasuk vaksin wajib bagi anak-anak hingga saat ini.
Epidemiologi DBD di Indonesia
DBD merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia. Sebagai negara tropis dengan iklim yang hangat dan lembap sepanjang tahun, Indonesia menjadi tempat yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, vektor untuk penyebaran virus dengue.
Kondisi geografis Indonesia yang luas dan beragam juga berperan dalam epidemiologi (penyebaran penyakit) DBD di negara ini. Beberapa area dengan populasi padat, seperti Bandung, Jakarta Timur, dan Bogor, serta infrastruktur sanitasi yang kurang memadai memiliki risiko tinggi untuk penyebaran penyakit ini. Selain itu, faktor iklim, seperti curah hujan dan suhu, mempengaruhi penyebaran serta perkembangbiakan nyamuk—yang pada akhirnya mendorong penyebaran DBD di masyarakat.
Petugas kesehatan puskesmas melakukan fogging untuk membasmi nyamuk demam berdarah di Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
DBD di Indonesia memiliki pola musiman. Peningkatan jumlah kasus biasanya terjadi pada musim hujan (Oktober-Maret) serta kondisi lembap, dan adanya genangan air membuat lingkungan yang ideal bagi nyamuk untuk berkembang biak. Namun kasus DBD tetap bisa terjadi sepanjang tahun.
Secara keseluruhan, DBD tetap menjadi tantangan besar di bidang kesehatan masyarakat di Indonesia. Kita butuh upaya terpadu, termasuk peningkatan pengendalian vektor, peningkatan deteksi dan perawatan kasus, serta peningkatan cakupan vaksinasi untuk mengatasi penyakit ini.
Baca: Beternak Nyamuk, Mengurangi Demam Berdarah
Lebih dekat dengan Vaksin Dengue
Vaksin dengue dihasilkan dari riset intensif dan panjang yang meliputi aspek biomedis, bioteknologi, serta imunologi. Setiap dosis vaksin berisi antigen yang memicu sistem imun untuk menghasilkan antibodi guna melawan virus dengue. Dengan begitu, individu yang divaksinasi akan memiliki pertahanan lebih baik terhadap serangan virus.
Secara teoretis, vaksinasi dengue dengan skala luas di Indonesia akan berdampak penurunan jumlah kasus DBD secara signifikan. Namun realisasi tersebut membutuhkan cakupan vaksinasi yang tinggi, yaitu 42-86 persen di seluruh populasi, dan efektivitas vaksin yang berkelanjutan.
Vaksin QDENGA® adalah vaksin dengan platform live attenuated tetravalent dengue vaccine (TDV) alias virus hidup yang dilemahkan. Ada empat galur virus dengue dengan berbagai serotipe (variasi yang berbeda dalam suatu virus), yakni galur virus dengue serotipe 2 (TDV-2), rekombinan galur virus dengue serotipe 2/1 (TDV-1), rekombinan galur virus dengue serotipe 2/3 (TDV-3), serta rekombinan galur virus dengue serotipe 2/4 (TDV-4). Vaksin ini tersusun dari empat galur ini.
Salah satu hal yang penting dalam pengembangan vaksin adalah efikasi (keampuhan). Efikasi vaksin QDENGA® dilaporkan oleh data studi klinik fase 3 serta didukung data imunogenisitas studi klinik fase 2 dan fase 3. Efikasi vaksin QDENGA® untuk pencegahan demam berdarah secara keseluruhan sebesar 80,2 persen. Sedangkan efikasinya untuk mencegah keparahan dengan perawatan intensif (hospitalisasi) akibat virus dengue sebesar 95,4 persen.
Petugas menunjukkan sampel nyamuk Aedes aegypti yang sudah disuntikkan bakteri wolbachia di Denpasar, Bali, 6 Juni 2023. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Vaksin ini menunjukkan efikasi yang baik pada subyek dengan sero-positif (memiliki antibodi terhadap virus dengue) ataupun subyek dengan sero-negatif (belum memiliki antibodi terhadap virus dengue). Berdasarkan analisis data keamanan dari studi klinik fase 1-3 pada usia 6-45 tahun, vaksin QDENGA® secara keseluruhan aman dan dapat ditoleransi dengan baik.
Kejadian tidak diharapkan (KTD) atau efek samping yang dilaporkan umumnya bersifat ringan hingga sedang. Pada laporan yang telah dirilis, efek samping ringan yang timbul meliputi pembengkakan yang bersifat sementara (hilang dalam 1-3 hari setelah pemberian vaksin), bercak kemerahan, dan nyeri pada titik injeksi.
Efek samping sistemik yang dilaporkan adalah demam, hilang nafsu makan, rasa mengantuk, rasa lelah, nyeri otot, dan sakit kepala. Tidak ada kejadian perdarahan akibat vaksin dengue serta reaksi alergi berat yang dilaporkan setelah pemberian vaksin QDENGA® dalam studi klinis.
Meski demikian, hingga saat ini belum tersedia data efikasi vaksin QDENGA® untuk usia di atas 45 tahun. Karena itu, efikasi vaksin pada kelompok usia tersebut belum dapat dipastikan serta membutuhkan analisis lebih lanjut.
Tantangan Vaksinasi Dengue di Indonesia
Beberapa tantangan muncul dalam upaya mencapai Indonesia bebas DBD. Tantangan utamanya adalah distribusi vaksin. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan infrastruktur yang belum merata, distribusi vaksin ke daerah terpencil dan kurang berkembang bisa menjadi tantangan besar.
Tantangan lainnya adalah penerimaan masyarakat terhadap vaksin. Walaupun vaksin sudah terbukti aman dan efektif, masih banyak masyarakat yang ragu mengikuti vaksinasi karena berbagai alasan. Edukasi kepada masyarakat tentang perlunya vaksinasi menjadi hal penting untuk dilakukan guna mengatasi tantangan ini.
Tantangan selanjutnya adalah implementasi surveilans penyakit yang efektif. Kita membutuhkan sistem pemantauan dan pelaporan yang baik untuk melacak efektivitas vaksin dan mendeteksi penyebaran penyakit dini. Sistem ini harus dapat dengan cepat memberikan respons terhadap kasus DBD, termasuk di daerah-daerah terpencil.
Salah satu aspek penting dalam pengendalian DBD adalah pengendalian nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Meski vaksin dengue telah beredar, pengendalian populasi nyamuk ini tetap penting untuk mencegah penyebaran virus.
---
Artikel ini ditulis oleh Arif Nur Muhammad Ansori dari Universitas Airlangga, Arli Aditya Parikesit dari Indonesia International Institute for Life Science, dan Yulanda Antonius dari Universitas Surabaya. Terbit pertama kali di The Conversation.