Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin ini pepatah yang pas menggambarkan kondisi Irwansyah, 27 tahun. Ia terpaksa berhenti bekerja setelah dokter memvonisnya menderita tuberkulosis resistan obat. "Ini yang paling berat karena saya punya keluarga yang harus saya hidupi," kata bapak dua anak ini saat ditemui di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, Senin, 22 Maret lalu.
Irwan didiagnosis menderita TBC pada awal tahun ini. Dokter mengatakan ia mesti menjalani pengobatan selama sembilan bulan tanpa putus. Ia sebenarnya tak mau berhenti dari pekerjaannya sebagai operator mesin di sebuah pabrik di Pulogadung, Jakarta Timur. Namun bosnya khawatir Irwan bakal sering bolos karena penyakitnya. Ia diminta mundur. Sebelum didiagnosis menderita TBC, ia beberapa hari izin tak masuk kerja karena bolak-balik memeriksakan kesehatan.
Irwan akhirnya mundur pada awal Maret lalu. Masalah ekonomi seketika membelit. Memang, pemerintah menggratiskan obat tersebut, tapi Irwan harus mengeluarkan ongkos jalan berobat dari Bekasi ke RS Persahabatan menggunakan taksi online sekitar Rp 250 ribu. Baru 10 hari berobat, tabungannya langsung ludes. "Rp 2,5 juta lebih habis cuma untuk transport," kata dia. Ia tidak bisa naik angkutan umum karena obat yang dia konsumsi membuat tubuhnya sangat lemas.
Tanpa pemasukan, kini Irwan dan istrinya mesti mengencangkan ikat pinggang. Mereka memangkas lauk, menghilangkan buah dari menu makan, menghemat listrik dengan tak banyak menonton televisi, dan mengurangi jajanan untuk kedua anak mereka. "Saya pusing, bagaimana kami bisa bertahan sampai sembilan bulan nanti?" ujar dia.
Ari Setiawan, 35 tahun, punya pengalaman serupa. Pasien yang juga menderita TBC resistan obat ini terpaksa berhenti bekerja sebagai pengemudi ojek online karena efek obat membuat tulangnya seperti lolos satu per satu. Ia hampir tak bisa melakukan aktivitas apa pun. Karena tak punya pendapatan, cicilan sepeda motor tak terbayar dan akhirnya ditarik oleh perusahaan leasing. "Sekarang sudah tujuh bulan saya nunggak kontrakan," kata warga Cakung, Jakarta Timur, ini.
Ari sudah menjalani 10 bulan terapi dari 20 bulan yang dianjurkan dokter, sesuai dengan tingkat resistansi obatnya. Selama itu pula, kebutuhan hidupnya, istri, dan dua anaknya, yang berusia 10 tahun dan 5 tahun, disokong keluarga. Ari yang semula merupakan tulang punggung keluarga hanya bisa membantu sebisanya. "Kalau habis berobat masih punya tenaga, saya ngamen sama teman. Lumayan, bisa dapat Rp 50-100 ribu, dibagi dua."
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular langsung dari manusia ke manusia lewat percikan dahak. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru-paru, tapi bisa juga menyerang organ tubuh lain, seperti tulang, kelenjar, dan kulit.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu, TBC bisa disembuhkan asal pasien mengkonsumsi obat secara teratur. Namun, masalahnya, sebagian dari mereka enggan dan putus pengobatan. "Akibatnya, TBC berkembang menjadi resistan obat," kata dia.
Dokter spesialis paru-paru, Erlina Burhan, mengatakan butuh waktu lebih lama untuk mengobati TBC resistan obat. Biayanya juga lebih mahal. Efek obatnya pun lebih berat, seperti nyeri otot, lemas, dan halusinasi. "Lebih toxic."
Yang menjadi masalah, sebagian besar kasus TBC menyerang usia produktif. Imbasnya, TBC membebani penderita, keluarga, bahkan negara. Selain mereka perlu mengeluarkan ongkos untuk transportasi, produktivitas mereka hilang akibat sakit. Bahkan banyak di antara mereka yang kehilangan pekerjaan akibat penyakit tersebut.
Negara pun mesti mengeluarkan banyak uang untuk memberantas penyakit ini. "Rp 130 miliar per tahun dan Rp 6,2 miliar per tahun kerugian ekonomi yang harus ditanggung negara untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat," kata Wiendra.
Ketua Country Coordinating Mechanism Indonesia, Donald Pardede, mengatakan estimasi kebutuhan pendanaan untuk TBC pada 2017 adalah US$ 294 juta. Negara sanggup membiayai 34 persen, sedangkan 16 persen dibiayai oleh global fund, dan 50 persen sisanya belum terdanai. "Pendanaan global itu akan berakhir sampai 2024. Setelah itu, kita harus mandiri. Kita harus cari cara untuk bisa membiayai diri sendiri."
NUR ALFIYAH