DHAKA — Optimisme awal bahwa Asia Selatan mungkin terhindar dari dampak terburuk pandemi Covid-19 telah menghilang. Ini terjadi setelah tingkat infeksi Covid-19 terus melonjak sehingga menjadikan kawasan padat penduduk itu menjadi zona merah global.
Setelah beberapa bulan membuntuti Amerika Serikat dan Eropa Barat, kasus Covid-19 melonjak di seluruh Asia Selatan—rumah bagi hampir seperempat populasi dunia. Virus SARS-CoV-2 itu mendatangkan malapetaka bagi sistem medis yang rapuh dan lembaga kesehatan yang kekurangan dana.
Rumah sakit dari Kabul ke Dhaka kebanjiran pasien Covid-19. Petugas kamar mayat kewalahan karena kuburan dan krematorium berjuang untuk mengatasi lonjakan korban tewas, sementara keluarga yang putus asa mencari bantuan bagi orang yang mereka cintai.
"Ini bencana," kata Abdur Rob, seorang dokter senior di Rumah Sakit Umum Chittagong, Bangladesh. "Pasien sekarat di ambulans dalam perjalanan mencari rumah sakit yang masih menyediakan tempat tidur untuk perawatan intensif.”
Archie Clements, Wakil Rektor Fakultas Ilmu Kesehatan di Curtin University, Australia Barat, mengatakan situasi di Asia Selatan kemungkinan akan memburuk. “Kurva pertumbuhan Covid-19 masih dalam fase eksponensial,” ujar Clements. "Wilayah ini bisa menuju jumlah kematian yang lebih besar pada minggu-minggu mendatang."
Di seluruh dunia, lebih dari 8 juta orang terinfeksi Covid-19 dan lebih dari 446 ribu orang meninggal, dengan virus itu meluas di Asia Selatan dan Amerika Latin. Wilayah ini menghadapi skenario terburuk ketika pemerintah yang kekurangan uang memilih antara menegakkan karantina dan menyaksikan keluarga berpenghasilan rendah semakin terjerat kemiskinan.
India merupakan negara terparah keempat di dunia dengan lebih dari 354 ribu kasus yang dikonfirmasi, meskipun pengujian itu terbatas yang berarti jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Jumlah korban jiwa melonjak lebih dari 2.000 menjadi 11.900 orang pada Rabu lalu, setelah Mumbai dan New Delhi memperbarui angka mereka.
Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi menuai pujian pada akhir Maret lalu karena memaksakan untuk melakukan salah satu penutupan paling ketat dan terbesar di dunia. Namun jutaan pekerja migran tidak memiliki pekerjaan. Karena tidak bisa pulang, mereka terkadang ditahan di fasilitas penuh sesak yang meningkatkan risiko penularan.
Ketika pemerintah India mencabut pembatasan, kasus-kasus infeksi Covid-19 langsung meningkat. "Masalahnya adalah, di negara seperti India, dengan kemiskinan berskala besar dan komunitas migran yang besar, Anda tidak dapat mengharapkan semua orang dapat berlindung," tutur Michael Kugelman, analis dari Wilson Center yang berbasis di Washington.
Di negara tetangga, Pakistan, tercatat lebih dari 160 ribu kasus dan lebih dari 3.000 kematian. Perdana Menteri Imran Khan menentang untuk melakukan penguncian nasional dengan alasan negara itu tidak mampu membayarnya.
Banyak warga memilih mengabaikan pedoman jarak sosial dan penguncian provinsi selama liburan Idul Fitri bulan lalu, yang mendorong peningkatan kasus saat ini. "Ketika perayaan Idul Fitri datang, masyarakat membanjiri pasar, pergi ke permakaman. Tak ada penegakan (langkah-langkah menjaga jarak sosial)," kata Samra Fakhar, seorang ahli bedah di Kota Peshawar.
Sementara itu, pekan lalu, angka penguburan yang dikeluarkan oleh sembilan kuburan yang dikelola pemerintah di ibu kota Bangladesh, Dhaka, serta puluhan kuburan kecil di kota tetangga menunjukkan setidaknya 1.600 kematian tambahan pada April dan Mei. Namun data Kementerian Kesehatan Bangladesh menunjukkan hanya 450 orang meninggal karena Covid-19 di dua kota selama periode tersebut.
Kisah serupa muncul di Afganistan yang tengah dilanda konflik. Negara itu hanya mengakui lebih dari 26 ribu kasus dan 500 kematian. Jumlah yang tampaknya sangat mustahil untuk sebuah negara yang gagal menegakkan karantina di tengah konflik dan di mana buruh miskin tidak dapat tinggal di rumah.
"Kami mendapat laporan peningkatan dugaan kematian dan warga menguburkan mayat pada malam hari," ujar Gubernur Kabul Mohammad Yakub Haidary, pekan lalu. Ia menambahkan bahwa ibu kota Afganistan diduga memiliki lebih dari 1 juta orang yang terinfeksi. "Ada bencana yang akan datang."
FRANCE24 | CNA | DAWN | THE NEWS INTERNATIONAL | SITA PLANASARI AQUADINI