maaf email atau password anda salah


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi

Aktivitas Literasi Harus Digerakkan Secara Masif dan Partisipatif

Gerakan literasi harus dilakukan secara masif dan partisipatif. Agar dalam pelaksanaannya dapat diawasi dan dievaluasi terkait efektivitasnya.

arsip tempo : 172883113065.

Ilustrasi siswa di dalam kelas sebelum pandemi.. tempo : 172883113065.

Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan gerakan literasi telah banyak diinisiasi oleh komunitas, perpustakaan, masyarakat hingga pemerintah. Namun yang disayangkan dalam pelaksanaannya terkesan sporadis. Sehingga ia menyarankan aktivitas literasi yang dilakukan oleh masyarakat atau komunitas sebisa mungkin disinergikan dengan program dinas pendidikan masing-masing daerah.

“Jadi apa gerakan literasi ini menjadi terintegrasi dengan masyarakat dan pelibatan secara masif serta partisipatif,” kata dia kepada Tempo, Selasa, 27 Juli 2021.

Kemudian agar semakin efektif gerakan literasi tersebut, Ubaid menyarankan untuk dilakukan pengawasan dan evaluasi. Sehingga, secara bersama-sama dapat mengetahui capaian dari kegiatan. Dengan adanya evaluasi pun dapat mengetahui terkait efektifitas dan keberhasilan dari suatu gerakan literasi. “Jadi bisa mengukur mana anak yang sudah ter-influence dalam membaca atau tidak,” ujar Ubaid.

Namun saat ini, kata Ubaid, gerakan literasi masih terkesan formalitas. Seperti dilakukan di sekolah anak-anak sebelum masuk kelas diharuskan membaca. Padahal esensi dari gerakan literasi adalah tidak memaksakan kehendak, melainkan menumbuhkan budaya membaca berdasarkan kemauan.

Oleh karena itu, Ubaid menegaskan, ini bukan tugas satu pihak saja, melainkan harus dilakukan bersama dengan fasilitasi bersama. Kemudian melakukan evaluasi bersama dan menentukan tujuan yang akan dicapai bersama. Sehingga peningkatan literasi ini bisa berjalan dengan efektif dan dampaknya terasa masif. “Jadi jangan sendiri-sendiri,” tuturnya.

Ketika sinergi telah terjalin dalam pembiasaan membaca dan menulis, Ubaid menyarankan, kemampuan literasi yang mulai terbangun dikembangkan ke arah berbasis karya. Jadi anak, dibiasakan untuk mencurahkan ide ke dalam tulisan, seperti puisi, cerita pendek, atau sekadar tulisan singkat di media sosial. Hal ini akan membangun pola pikir anak, dan akan terbiasa mengomunikasi sesuatu, serta berpikir kritis.

“Ini harus dibudayakan, sehingga jika ada program seperti itu maka anak akan terpacu dalam budaya tulis menulis,” ujarnya.

Sementara itu, Pakar literasi Sofie Dewayani, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks tertulis untuk mengembangkan kapasitas individu untuk dapat berkontribusi secara produktif kepada masyarakat.

Dia juga menyebut, gerakan literasi hanya saat ini hanya dipahami sebagai kegiatan formalitas yang dilakukan sekolah-sekolah. “Di banyak sekolah gerakan literasi sekolah masih dipahami membaca 15 menit, padahal tidak hanya itu,” ucapnya.

Jadi, kata Sofie, kegiatan itu tidak efektif. Seharusnya, sebuah gerakan literasi harus dipahami sebagai upaya untuk menumbuhkan budaya membaca. Sehingga bukan hanya menuntaskan tanggung jawab tanpa melihat efektivitasnya. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 13 Oktober 2024

  • 12 Oktober 2024

  • 11 Oktober 2024

  • 10 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan