Wanita hamil dengan Covid-19 memiliki risiko kematian lebih tinggi dibanding wanita dengan Covid-19 yang tidak hamil. Selain itu, kelahirannya akan prematur dan risiko keguguran lebih tinggi dibanding ibu hamil yang tidak tertular virus corona.
Terlepas dari risiko itu, belum ada panduan yang jelas untuk wanita hamil dengan Covid-19, apakah boleh mendapat vaksinasi ataukah tidak. Tapi kini ada bukti bahwa imunisasi justru dapat melindungi bayi mereka yang baru lahir.
Untuk pertama kalinya, dokter melaporkan bahwa antibodi SARS-CoV-2 dari ibu yang divaksinasi dapat melewati plasenta. Hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan manfaatnya bagi sang janin. Laporan itu dimuat di medRxiv, dua pekan lalu.
"Temuan ini mempertegas asumsi kami bahwa ibu hamil boleh divaksinasi dan dapat memberikan sebagian dari kekebalannya kepada janin,” kata Chad Rudnick, dokter anak di Florida Atlantic University dan salah seorang penulis penelitian.
Dalam laporan tersebut diceritakan pengalaman seorang petugas kesehatan garis depan yang memilih menerima dosis pertama vaksin Moderna mRNA Covid-19. Padahal saat itu dia sedang hamil 36 pekan.
Wanita itu tidak pernah mengidap Covid-19 sebelumnya karena tidak memiliki riwayat tertular ataupun gejala. Ia juga belum pernah dites antibodi SARS-CoV-2 sebelum vaksinasi.
Untuk pertama kalinya, dokter melaporkan bahwa antibodi SARS-CoV-2 dari ibu hamil yang divaksinasi dapat melewati plasenta.
Setelah kelahiran bayinya pada pekan ke-39, Rudnick mendeteksi adanya antibodi IgG terhadap SARS-CoV-2 dalam darah tali pusat. Hal ini mengkonfirmasi telah terjadi transfer antibodi ibu ke janin melalui plasenta.
Rudnick mengatakan dia dan rekan penulis, Paul Gilbert, dokter anak di Florida Atlantic, tidak bermaksud melakukan studi tentang vaksinasi Covid-19 pada wanita hamil. Tapi mereka menemukan bahwa kekebalan vaksin dapat diteruskan ke janin.
Vaksin untuk influenza serta tetanus, difteri, dan pertusis (TDaP) biasanya digunakan dalam kehamilan karena efek perlindungannya bagi bayi baru lahir, yang memiliki sedikit pertahanan kekebalan.
Rudnick berharap hal yang sama berlaku untuk vaksin Covid-19. "Karena kami tahu bahwa bayi kecil dapat dirawat di rumah sakit akibat Covid. Mereka terkadang bisa sakit parah,” katanya.
Studi ini tidak menghitung tingkat antibodi dalam darah ibu. Jadi, tidak ada indikasi efisiensi transfer antibodi, dan para peneliti tidak dapat mengatakan apakah antibodi pada bayi bersifat protektif. Juga, karena ini merupakan studi kasus pada satu subyek, makalah tersebut tidak dapat menyarankan waktu yang ideal untuk vaksinasi ibu hamil.
Sebuah publikasi baru-baru ini di JAMA Pediatrics menunjukkan bahwa antibodi SARS-CoV-2 dapat melintasi plasenta dengan cara yang sama selama infeksi alami. Tulisan itu menawarkan beberapa petunjuk tentang waktu optimal untuk vaksinasi.
Karen Puopolo, ahli neonatologi di Rumah Sakit Anak Philadelphia, dan rekannya menemukan antibodi SARS-CoV-2 IgG di plasenta 72 dari 83 wanita hamil yang sebelumnya terkena virus. Konsentrasi antibodi dalam darah tali pusat berkorelasi dengan konsentrasi antibodi ibu serta waktu antara infeksi dan persalinan.
Secara khusus, jika kadar antibodi ibu tinggi, begitu pula kadar dalam darah tali pusat. Semakin lama ia mengalami infeksi sebelum melahirkan, semakin besar kelimpahan antibodi.
"Hal semacam itu masuk akal untuk penyakit baru,” kata Puopolo. "Butuh beberapa waktu bagi tubuh untuk membuat respons antibodi dan kemudian perlu beberapa waktu agar antibodi itu ditransfer melintasi plasenta.”
Timnya menemukan bahwa 17 hari sebelum kelahiran merupakan waktu minimum untuk antibodi SARS-CoV-2 ibu muncul dalam darah tali pusat setelah infeksi. Waktu yang sama mungkin berlaku untuk vaksinasi.
Hasil ini menyoroti perdebatan yang sedang berlangsung tentang dimasukkannya wanita hamil dalam studi klinis, termasuk uji coba vaksin Covid-19. Menurut Puopolo, keengganan untuk bereksperimen pada wanita hamil didasari niat baik.
Geeta Swamy, yang mempelajari imunisasi ibu di Duke University, setuju bahwa wanita hamil seharusnya disertakan dalam uji klinis untuk vaksin Covid-19. "Masalahnya, jarang ibu hamil yang mau divaksinasi,” katanya.
Saat ini, panduan paling otoritatif untuk vaksinasi Covid-19 bagi wanita hamil berasal dari American College of Obstetricians and Gynecologists. Mereka mengatakan kehamilan bukan alasan untuk tidak divaksinasi dan bahwa wanita harus membuat keputusan sendiri setelah berkonsultasi dengan dokter mereka.
Sambil menunggu lebih banyak data tentang risiko dan manfaat vaksin selama kehamilan, studi awal ini menunjukkan bahwa vaksinasi dapat memberikan perlindungan pada bayi yang baru lahir terhadap infeksi.
THE SCIENTIST | SCIECE DAILY | FIRMAN ATMAKUSUMA