Banjir Informasi Pemilih Pemula di Pemilu 2024
Di Pemilu 2024, pemilih pemula bakal kebanjiran informasi dan rentan terjebak hoaks. Perlu peran sekolah dan perguruan tinggi.
Salah satu kategori pemilih yang sangat menarik untuk diteliti menjelang pemilihan umum (pemilu) adalah pemilih pemula. Kelompok pemilih pemula adalah warga negara yang akan memberikan suaranya dalam pemilu untuk pertama kalinya. Mereka biasanya berusia 17-21 tahun.
Hampir sebagian besar kelompok pemilih ini tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang informasi politik, yang mencakup kandidat, partai politik, ataupun hal-hal teknis yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Ini membuat mereka rentan akan terpaan informasi politik yang berlimpah dari berbagai sumber. Apalagi pemilih pemula termasuk dalam kelompok digital natives—terbiasa dengan penggunaan teknologi dan berinteraksi secara virtual. Mereka juga sangat terbuka untuk mempelajari hal-hal baru.
Menjelang Pemilu 2024 fase ini, salah satu tantangan besar yang akan mereka hadapi sebagai pemilih adalah infobesity yang membuat mereka menampung terlalu banyak informasi (information overload) dalam konteks politik. Hal ini kemungkinan besar akan membuat mereka kewalahan dalam menyaring informasi.
Anggota KPU Kabupaten Badung bersama maskot Pemilu 2024 Sura dan Sulu melakukan sosialisasi kepada para pelajar yang menjadi pemilih pemula di Badung, Bali, 14 Agustus 2023. ANTARA/Fikri Yusuf
Masalah akan muncul jika infobesity “terkontaminasi” dengan berita-berita palsu—hal yang tampaknya akan sulit dihindari selama tahun politik.
Baca: Kampanye Negatif Menjelang Pemilu 2024
Mengenal Infobesity
Istilah infobesity mungkin masih cukup asing bagi masyarakat awam. Istilah ini berkembang dengan menjamurnya kajian ilmu informasi.
Infobesity atau information obesity (obesitas informasi) adalah kondisi ketika seseorang dihadapkan pada banyaknya pilihan informasi yang berdampak pada proses pengambilan keputusannya. Istilah lain yang memiliki konteks serupa adalah information explosion (ledakan informasi), yakni situasi ketika berbagai macam informasi yang ditemukan, baik dalam bentuk teks, audio, audiovisual, maupun variasi lainnya, membuat masyarakat kewalahan.
Masyarakat Indonesia berpotensi lebih rentan terpapar infobesity karena memiliki budaya kolektivitas, yakni dorongan untuk saling berbagi informasi melalui platform yang dimilikinya. Terlebih, penelitian menunjukkan bahwa generasi muda cenderung membagikan informasi tanpa lebih dulu mengetahui kebenaran ataupun mencari kebenaran informasi yang mereka dapat tersebut.
Tingginya jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia dan beragamnya platform digital turut berkontribusi pada tingginya jumlah informasi yang diproduksi serta dibagikan. Meskipun masyarakat sudah terbiasa mendapat banyak informasi dalam kehidupan sehari-hari, situasi ini perlu menjadi perhatian, khususnya menjelang tahun politik.
Sebab, berkaca pada kontestasi politik periode-periode sebelumnya, media sosial memiliki dampak yang besar untuk menggiring opini publik. Selain sebagai media penyebaran informasi, media sosial menjadi salah satu alat untuk mobilisasi pemilih, kampanye, dan ruang diskusi, sehingga mudah disalahgunakan sebagai alat propaganda.
Dengan kata lain, media sosial juga dapat menyumbang infobesity, dan ini cukup berbahaya karena informasi yang beredar sudah bercampur dengan informasi yang tidak sesuai dengan fakta (hoaks, berita palsu, serta disinformasi). Hal ini patut diwaspadai terutama bagi para pemilih muda, yang umumnya termasuk dalam kategori pemilih yang pilihannya mudah berubah-ubah dan masih ragu dalam menentukan pilihan (biasa disebut undecided voters dan swing voters).
Yang jadi masalah, meskipun mayoritas pemilih pemula adalah digital natives, tidak semua memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Baca: KPU Berfokus Tingkatkan Pemilih Pemula
Salah satu penelitian tentang bagaimana sikap generasi Z terhadap informasi yang beredar selama masa pemilihan Gubernur Jawa Barat pada 2018 menemukan bahwa pemilih muda cenderung mudah percaya atas informasi yang mereka dapat dan mudah terprovokasi untuk ikut berkomentar di konten-konten penggiringan opini publik.
Artinya, kelompok ini kurang memiliki keterampilan mengevaluasi informasi yang diterimanya secara kritis. Kedekatannya dengan media sosial juga membuat pemilih pemula menjadi kelompok pertama yang terpapar informasi politik dibanding kelompok lain. Pada akhirnya, kelompok ini rentan dipengaruhi oleh informasi yang keliru/hoaks yang beredar di lingkungan digital mereka.
Petugas Panita Pemungutan Suara (PPS) KPU Badung melakukan sosialisasi kepada para pelajar yang menjadi pemilih pemula oleh KPU Kabupaten Badung di Badung, Bali, 14 Agustus 2023. ANTARA/Fikri Yusuf
Literasi dan Pendidikan Politik
Pemilih pemula biasanya belum memiliki pengetahuan memadai tentang proses politik, isu-isu politik, atau sekadar informasi ihwal kandidat ataupun partai politik jika dibanding generasi yang lebih tua.
Untuk mendapatkan informasi politik, pemilih pemula biasanya melakukan pencarian melalui media sosial dan saluran digital lainnya sebagai sumber utama. Adapun sumber sekundernya bisa dari forum publik, podcast, televisi, dan diskusi internal.
Namun satu hal yang hampir pasti, lingkungan sekitar dapat berperan besar dalam memberikan informasi politik, yang kemudian juga membentuk preferensi politik para pemilih tersebut. Dalam hal ini, institusi pendidikan, seperti sekolah dan perguruan tinggi, sebenarnya dapat mempunyai andil untuk memberikan informasi politik, paling tidak tentang literasi media dan literasi informasi.
Contohnya, sekolah dapat mengajarkan keterampilan digital dalam mengidentifikasi berita palsu dan sumber informasi yang dapat dipercaya serta bisa bekerja sama dengan perpustakaan, pegiat literasi digital, dan dinas terkait untuk memberikan keterampilan literasi bagi pemilih pemula.
Pelatihan keterampilan literasi ini penting untuk menghindarkan pemilih pemula dari dampak buruk atau paling tidak untuk mempersiapkan mereka menghadapi infobesity. Dengan literasi ini, diharapkan para pemilih pemula mampu menyaring serta menemukan dan memilih informasi-informasi yang benar dan berkualitas.
Institusi pendidikan juga dapat menyelenggarakan forum diskusi politik secara terbuka. Adanya forum diskusi tentang isu politik kontemporer secara langsung dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pemilih pemula.
Pekerjaan Rumah bagi Pemerintah
Pemerintah harus mampu menjadi pusat informasi politik yang dapat diandalkan, jelas, mudah dipahami, dan menarik bagi pemilih pemula.
Dalam memberikan informasi tentang kepemiluan, misalnya, pemerintah tidak cukup hanya dengan mengedarkan informasi melalui siaran pers ke media massa atau menerbitkan data statistik. Pemerintah diharapkan dapat mengemas informasi menjadi konten menarik dan edukatif, menyesuaikan dengan karakteristik pemilih pemula.
Pemerintah, melalui kementerian atau dinas terkait, bisa bekerja sama dengan influencer media sosial untuk mempromosikan pentingnya edukasi dan partisipasi dalam pemilu. Ini merupakan salah satu cara komunikasi politik yang cukup efektif pada era digital.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu mengontrol dan mengawasi arus informasi yang ada di media sosial, menerapkan regulasi yang matang, serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dalam membasmi disinformasi di tengah masyarakat. Tentunya juga harus disertai infrastruktur digital yang memadai.
Infobesity tampaknya tidak bisa dihindari dan mau tidak mau akan tetap dialami oleh pemilih pemula. Namun, dengan adanya kontrol tersebut, paling tidak para pemilih pemula tak kewalahan dan dapat memilah-milah informasi serta terhindar dari dampak buruk disinformasi.
---
Artikel ini ditulis oleh Rahmat Fadhli, mahasiswa doktoral Sistem Informasi dan Komputer di The University of Melbourne. Terbit pertama kali di The Conversation.