Ada banyak persoalan bergumul di pusaran pekerja migran. Salah satu hal yang jarang diangkat dan kerap luput dari perhatian adalah nasib anak-anak yang ditinggalkan (left-behind children). Mereka memang cenderung aman secara ekonomi sehari-hari. Tapi, tak jarang, anak-anak itu mengalami kesepian, merasa kurang perhatian, bahkan hidupnya berantakan.
Penelitian Human Right Working Group (HWRG) menemukan sejumlah masalah yang dialami anak-anak setelah ditinggalkan orang tuanya. Salah satunya DA, 18 tahun. Ia drop out dari sekolah karena kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah. Tidak adanya orang di rumah yang bisa membantu membuatnya menjadi makin malas belajar. Anak lain, DB, 17 tahun, meski tak sampai drop out, mengaku sulit berkonsentrasi dalam belajar karena rindu kepada ibunya.
Di luar masalah sekolah, anak-anak seusia DA dan DB biasanya memiliki persoalan secara psikologis dan sosial dalam pergaulan. Mereka cenderung enggan terbuka ihwal pekerjaan orang tuanya karena malu. Apalagi banyak stigma negatif yang menganggap TKI sama dengan pembantu. Tak jarang pula mereka menjadi korban perisakan. “Inti masalahnya sebetulnya soal perkembangan anak,” ujar Deputi Direktur HWRG, Daniel Awigra.
Menurut Daniel, anak dalam usia tumbuh kembang seharusnya mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. “Gara-gara krisis perhatian itu, ada kasus mereka beralih jadi kriminal atau bergaul dengan lingkungan negatif untuk cari perhatian.”
Selain HWRG, peneliti dari Universitas Gadjah Mada pernah memotret berbagai permasalahan anak-anak left-behind. Presentasi penelitian bertajuk “Dampak Migrasi Internasional terhadap Keluarga dan Anak yang Ditinggalkan: Studi Kasus Indonesia” itu menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di rumah tangga pekerja migran juga mendapat masalah kesehatan, seperti stunting dan overweight, meski jumlahnya tak signifikan.
Sejauh ini belum ada program spesifik untuk mengatasi masalah ini. Program pendampingan untuk anak-anak masih menempel dengan program bersifat umum, seperti program Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) dari Migrant Care dan Desa Migran Produktif (Desmigratif) milik Kementerian Tenaga Kerja. Program Desbumi lebih menyasar fasilitas informasi, pendataan, bantuan pengurusan dokumen, dan pengaduan kasus. Meski ada pula program pemberdayaan mulai dari desa, tapi masih berfokus pada isu ekonomi.
Adapun dalam program Desmigratif, yang telah dijalankan di 12 provinsi, 107 kabupaten, 314 kecamatan, dan 402 desa, memang ada kegiatan pengasuhan secara bersama (community parenting), tapi ditemukan sejumlah kendala di lapangan, dari kurangnya tenaga berkompeten hingga kesadaran keluarga anak itu yang rendah. Padahal program ini penting. “Agar anak-anak yang ditinggal orang tuanya bekerja ke luar negeri tidak kehilangan perhatian keluarga,” kata Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah.
Jadi, kata Daniel lagi, program-program itu belum cukup untuk mengatasi persoalan anak-anak left-behind. Meski begitu, ia mengapresiasi kegiatan-kegiatan tersebut. “Tapi juga perlu di-assessment, misalnya soal kurikulum di program community parenting. Perlu diperhatikan,” ujar Daniel.
Hal senada dikatakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yakni berbagai upaya yang dilakukan pemerintah ataupun lembaga-lembaga lain untuk mengatasi persoalan anak-anak yang ditinggal orang tuanya itu belum cukup. Menurut Komisioner KPAI Bidang Pengasuhan, Rita Pranawati, berbagai program itu masih berefek jangka pendek.
Padahal, menurut dia, masalah pengasuhan bisa memberi efek jangka panjang secara psikologis. “Jadi, perlu andil pemda dan pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan anak-anak ini,” kata Rita.
Pada 2015, KPAI juga pernah meminta pemerintah menghentikan pengiriman pekerja migran perempuan yang punya anak usia balita untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan. Apalagi, KPAI mencatat, 80 persen pekerja migran yang dikirim ke luar negeri adalah wanita berusia produktif. Selain itu, masih banyak tenaga kerja wanita pergi tanpa jaminan memadai, sehingga anak-anak yang ditinggalkan telantar.
INGE KLARA