JAKARTA – Deputi Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Hanung Harimba Rachman mengatakan lebih dari 10 juta pelaku UMKM bersentuhan dengan teknologi digital pada 2020. Menurut Hanung, angka tersebut meningkat dari 6-8 juta pelaku UMKM pada tahun sebelumnya.
“Salah satu pendorongnya karena adanya sejumlah program digitalisasi bersama, baik dengan platform digital maupun melalui badan usaha milik negara (BUMN),” ujar Hanung kepada Tempo, kemarin.
Salah satu program yang sedang didorong pemerintah adalah Belanja di Warung Tetangga yang menggandeng Kementerian BUMN agar warung bisa bersaing dengan toko-toko besar. Dalam program tersebut, pemilik warung bisa berbelanja bahan pokok melalui aplikasi Warung Pangan yang terhubung dengan BUMN kluster pangan. “Program tersebut akan memberikan kepastian pasokan bagi warung atau penjual,” kata dia.
Sejak adanya kampanye Gerakan Bangga Buatan Indonesia yang diperkenalkan pada pertengahan 2020, Hanung menyebutkan ada 3,8 juta pelaku UMKM yang masuk ke platform dagang online berdasarkan data per Desember 2020. Sementara itu, pelaku UMKM yang berjualan di platform e-commerce mencapai 45 persen. Menurut data dari Bank Indonesia per November 2020, total transaksi di e-commerce pada 2020 meningkat 36 persen dibanding pada 2019.
Produksi kursi berbahan rotan di Grogol, Jakarta, 24 September 2020. Tempo/Tony Hartawan
“Tahun-tahun ini akan ditingkatkan kembali dengan tambahan agar mereka bisa ekspor. Rencana ini akan dilakukan dengan menggandeng platform digital, misalnya Amazon,” kata Hanung. Meski begitu, Hanung belum bisa menyebutkan rencana detail kerja sama tersebut karena masih dalam tahap awal. Pemerintah menargetkan ada 300 ribu eksportir baru dari pelaku UMKM pada 2030.
Kementerian Koordinator Perekonomian juga sedang mengembangkan Strategi Nasional (Stranas) Ekonomi Digital bersama Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) lewat perjanjian kerja sama pengembangan ekonomi digital nasional melalui pemanfaatan layanan keuangan digital. Perjanjian itu diharapkan menjadi titik awal pengembangan dan edukasi dalam konteks ekosistem ekonomi digital.
“Penandatanganan kerja sama ini juga tentu diharapkan dapat berimbas pada digitalisasi serta peningkatan daya saing UMKM lokal,” tutur Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Kemenko Perekonomian, Rudy Salahuddin.
Menurut Rudy, masih kurangnya digitalisasi UMKM nasional juga menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi kinerja UMKM saat ini, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Salah satu tantangan digitalisasi UMKM di Indonesia adalah rendahnya tingkat literasi digital, literasi keuangan, dan literasi keuangan digital.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Sunarso, mengatakan tengah mengembangkan Pasar.id, yaitu situs yang menghubungkan pembeli dan pedagang di pasar basah untuk bertransaksi online. Selain mempertemukan pedagang dan pembeli tanpa perlu bertemu fisik, pengembangan situs itu membantu promosi pasar tradisional lewat media sosial. Dalam pengembangannya, akan ada kurir yang dikelola oleh pengelola pasar.
“Di Indonesia ada 14.500 pasar becek yang dalam beberapa bulan akan kami garap. Jumlah pedagangnya 2,5 juta,” kata Sunarso. Adapun pedagang yang sudah terhubung dengan Pasar.id sebanyak 4.500 orang.
Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Rudi As Aturridha, berujar bahwa Bank Mandiri juga telah menjalin kerja sama dengan platform digital untuk memperluas akses UMKM pada pembiayaan produktif Bank Mandiri. Beberapa platform yang telah bekerja sama adalah Amartha, Crowde, Investree, Akseleran, dan Koinworks. Strategi lainnya adalah mengintegrasikan teknologi informasi dalam penyaluran kredit produktif.
“Untuk itu, kami telah menyediakan aplikasi mandiri PINTAR sebagai digital sales platform untuk memotong proses birokrasi dan mempercepat pemberian persetujuan kredit mikro dan UKM,” ujar Rudi.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menuturkan UMKM yang berjualan produk di platform e-commerce harus bersaing ketat dengan produk impor. “Jadi, pemerintah mau bantu UMKM go digital. Tapi, bila produk impor tidak dikendalikan, sama saja sulit,” kata dia. Sejauh ini, Bhima melanjutkan, hanya 14-16 persen dari 64 juta pelaku UMKM yang sudah melek digital.
Tantangan digitalisasi UMKM lainnya adalah keterampilan teknis pelaku usaha yang masih rendah. Menurut Bhima, kualitas sumber daya manusia menjadi masalah serius. Infrastruktur yang belum merata juga mengakibatkan digitalisasi hanya terfokus di wilayah Jawa. “Porsi transaksi e-commerce di luar Jawa masih rendah,” kata dia.
Pedagang butik baju batik mengambil gambar baju yang akan di jual secara daring di Cipadu, Kota Tangerang, Banten, 20 Oktober 2020. Tempo/Tony Hartawan
Namun UMKM yang cepat beradaptasi dengan teknologi digital, baik dari sisi produksi maupun pemasaran, relatif bisa bertahan. Contohnya penjualan pakaian jadi lewat media sosial. Bisnis makanan dan minuman lewat aplikasi pesan-antar juga rata-rata naik 20 persen selama masa pandemi.
Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai sudah banyak pelaku UMKM yang melakukan adaptasi teknologi marketplace. Namun, karena tingkat konsumsi masyarakat masih rendah, para pelaku UMKM kesulitan menjual produknya. Selain itu, proporsi UMKM yang berjualan masih relatif kecil terhadap total keseluruhan UMKM saat ini.
“Saya kira kendalanya mungkin lebih kepada banyak UMKM yang belum terbiasa berjualan secara online. Apalagi kualitas Internet di seluruh Indonesia belum merata,” ujar Yusuf. Menurut dia, kecepatan Internet pada akhirnya penting dalam proses transaksi digital.
LARISSA HUDA | YOHANES PASKALIS