JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa, mengatakan produsen tekstil kesulitan menembus Turki, yang seharusnya bisa menjadi gerbang untuk membuka pasar Eropa. Penyebabnya, kata dia, banyak hambatan perdagangan, baik itu melalui skema tarif maupun non-tarif. “Padahal Turki bisa menjadi tujuan ekspor terbesar bagi produk benang pintal (spun yarn)," kata dia, kemarin.
Jemmy memberi contoh, pada 2008, pemerintah Turki mengenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) untuk impor synthetic yarns atau spun yarn senilai US$ 0,23-0,40 per kilogram. Kebijakan itu telah diperpanjang kembali pada 2015 hingga 2020. Adapun tarif umum atau most favoured nations (MFN) tertinggi Turki saat ini adalah 12 persen, berlaku untuk pakaian dan aksesori pakaian, rajutan, atau produk lain dengan kode harmonized system (HS) 61 dan 62. Tarif terendah diterapkan untuk sutra atau HS 50 dan wol bulu hewan halus atau kasur, benang bulu kuda, dan kain tenunan (HS 62) sebesar nol persen.
Menurut Jemmy, pemerintah bisa menghilangkan hambatan ini melalui perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia-Turki (IT-CEPA).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan baik pelaku industri maupun pemerintah harus mengatasi tren pengamanan perdagangan (trade remedies) yang akan terus dijalankan oleh Turki. Menurut Redma, tak sedikit trade remedies yang diterapkan sebetulnya mengarah pada produk Cina yang membanjiri Turki. Namun hal ini turut berdampak pada produk yang sama dari Indonesia. "Pasar Turki tak boleh lepas,” ujar dia.
Direktur Sritex Group, Abhay Agarwal, berharap pemerintah bisa mempercepat penyelesaian perjanjian dagang dengan Turki. Menurut dia, pasar Turki masih terbuka, mengingat pertumbuhan produk serat buatan dan benang di negara itu hanya 3,55 persen dalam lima tahun terakhir, meskipun telah memberlakukan anti-dumping dan safeguard. “Selain itu, ada kepercayaan pada produsen fiber dan spinners Indonesia.”
Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Marthin Kalit, berujar bahwa Turki merupakan salah satu negara pengguna aktif trade remedies dan masuk daftar sepuluh besar negara dengan jumlah penyelidikan terbanyak. Setidaknya ada 199 kasus dikenakan BMAD, 17 kasus dikenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP), dan satu kasus dengan anti-subsidi.
Pemerintah Turki juga memanfaatkan hambatan non-tarif (non-tariff measures/NTM) untuk menghalau produk impor, termasuk tekstil. Sektor tekstil paling terkena dampaknya karena 792 jenis komoditas terkena NTM, seperti persyaratan sertifikasi, persyaratan melewati pelabuhan tertentu, pajak konsumsi, hingga perizinan ekspor.
Marthin mengatakan pemerintah tengah meningkatkan volume ekspor produk tekstil ke Turki karena negara tersebut menjadi mitra penting bagi industri tekstil dalam negeri untuk bisa masuk rantai pasok global. Untuk mendorong langkah itu, dia mengatakan, pemerintah telah melakukan sejumlah pendekatan, salah satunya IT-CEPA. "Selain itu, harus ada diferensiasi produk dan memperkuat market intelligence agar tidak bersaing dengan produk asal Turki," ujar Marthin. *
LARISSA HUDA
Proteksi Perdagangan Turki Hambat Ekspor Tekstil