JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan penerapan kampanye menggunakan jaringan Internet alias daring dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020 masih rendah. Menurut Komisioner KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, ada sejumlah kendala yang menyebabkan kampanye daring kurang populer. Kendala itu adalah tak semua wilayah di Indonesia mampu menerapkan kampanye virtual tersebut. “Tak semua daerah di Indonesia punya sarana yang mendukung kampanye secara online. Jadi, kampanye daring dianggap tidak efektif,” kata Dewa ketika dihubungi Tempo, kemarin.
KPU akan menggelar 270 pilkada secara serentak pada 9 Desember mendatang. Dampak pandemi virus corona atau Covid-19, KPU mengubah sejumlah aturan dalam tahapan pelaksanaannya. Salah satunya mengubah cara kampanye dari berkumpul dan tatap muka menjadi daring atau online. Strategi ini dilakukan untuk menekan penyebaran dan mengurangi jumlah kasus Covid-19 dalam kegiatan kampanye tatap muka.
Dewa mengatakan kendala lain dalam menggelar kampanye online adalah karakter. Masyarakat Indonesia yang guyub dan senang bersosialisasi membuat kampanye daring kurang laku. Walhasil, sebagian besar calon kepala daerah masih mengandalkan kampanye tatap muka. Komisi Pemilihan sejatinya masih membolehkan kampanye tatap muka. Hanya, kampanye tersebut tetap harus menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan secara ketat.
Kendati begitu, KPU masih akan mengupayakan peningkatan praktik kampanye daring. KPU pada Kamis pekan lalu mengirim surat kepada komisi pemilihan provinsi dan kabupaten/kota. Inti surat tersebut, komisi pemilihan di daerah menjalin kontak dengan pasangan calon kepala daerah dan tim pemenangannya untuk memperbanyak kampanye daring. “Kampanye daring memang perlu pemahaman lebih dalam. Perlu perubahan paradigma mendasar karena ini problem sosiologis,” kata Dewa.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga merilis data jumlah aktivitas politik dalam 30 hari masa kampanye pilkada serentak 2020. Hasilnya, metode kampanye virtual masih sangat rendah. Berdasarkan data Bawaslu, dalam 30 hari kampanye terdapat 39.303 kegiatan tatap muka, 1.815 aktivitas penyebaran bahan kampanye, 1.698 pemasangan alat peraga kampanye, serta 247 kampanye daring. Walhasil, jika dihitung dalam persentase, pelaksanaan kampanye daring hanya sebesar 0,7%.
Masih merujuk pada data Bawaslu, ketidaksiapan tim kampanye dan pasangan calon dalam menggunakan media daring menjadi musababnya. Mayoritas calon menganggap kampanye daring kurang manjur dalam menggaet suara masyarakat.
Walhasil, menurut Bawaslu, ada dua solusi yang bisa dilakukan. Pertama, memperbanyak anjuran kampanye daring. Kedua, memperkuat penerapan disiplin protokol kesehatan dalam setiap kampanye tatap muka.
Dalam belasan ribu kegiatan kampanye tatap muka, Bawaslu menemukan 306 pelanggaran protokol kesehatan. Dari temuan tersebut, lembaga pemantau dan pengawas pemilihan itu menjatuhkan 306 peringatan tertulis dan sanksi pembubaran kampanye terhadap 25 kegiatan.
Adapun dalam kegiatan pemasaran alat peraga kampanye, Bawaslu menemukan masih ada 22 komisi pemilihan kabupaten/kota di Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan yang belum menyerahkan alat peraga kepada pasangan calon. Alasannya pun beragam, dari belum selesainya proses lelang hingga molornya proses pembuatan alat peraga kampanye.
Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah, Titi Anggraini, menyebutkan bukan cuma kubu pasangan calon yang tak cocok dengan metode kampanye daring. Kalangan masyarakat pun tak terlalu kenal dengan kampanye virtual. “Masyarakat merasa lebih dianggap jika para calon datang bertatap muka dengan mereka,” kata Titi dalam diskusi virtual, kemarin.
Meski begitu, Titi tetap berharap penyelenggara pilkada tetap menggenjot jumlah kampanye virtual. Sebab, terlalu riskan jika kampanye tatap muka menjadi pilihan utama di tengah pandemi Covid-19. “Sebab, Covid-19 ini bisa menyerang siapa saja. Komisioner KPU saja bisa terjangkit, belum lagi yang di daerah,” kata Titi.
INDRA WIJAYA
21