JAKARTA – Pelaku industri mewaspadai lonjakan impor bahan baku yang sebetulnya bisa diproduksi dalam negeri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi lonjakan impor ketika perekonomian membaik setelah penyebaran virus corona mulai reda.
"Lonjakan impor akan sangat besar dan harga akan sangat murah karena oversupply-nya (dari beberapa negara) sangat besar," ujar Redma kepada Tempo, kemarin.
Akhir tahun lalu, pemerintah sudah memberlakukan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) atau safeguard untuk menekan gelombang impor tekstil dan produk tekstil. Aturan untuk kira-kira 100 pos tarif itu berlaku hingga 200 hari. Namun, Redma mengatakan pemerintah segera menetapkan BMTPS tersebut menjadi permanen atau ditetapkan selama empat tahun dan menaikkan besaran bea masuknya.
"Kami juga segera minta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 menjadi betul-betul instrumen untuk mendorong pertumbuhan industri kain dan benang dalam negeri, bukan lagi kebijakan lartas (larangan dan pembatasan) yang masuk angin," kata Redma.
Redma mengatakan potensi lonjakan impor terjadi pada produk dari serat dan benang, terutama kain dan garmen. Tak hanya berasal dari Cina, lonjakan impor tekstil dan produk tekstil diperkirakan juga datang dari India, Vietnam, dan Bangladesh. "Hal ini terjadi karena mereka tidak dikenakan BMTPS."
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional (The Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan lonjakan impor yang perlu diwaspadai diperkirakan akan terjadi pada periode Mei hingga Juli mendatang. "Saya kirim surat kepada beberapa kementerian untuk bisa mengantisipasi potensi daripada membanjirnya produk baja dari luar negeri masuk ke Indonesia," ujar Silmy.
Silmy menjelaskan bahwa saat ini sedang terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Kondisi ini memicu kelebihan pasokan produsen bahan baku. Cepat atau lambat, dia memprediksi produk itu akan masuk ke Indonesia, terlebih permintaan di Indonesia saat ini masih stabil. Pemerintah perlu mengantisipasi lantaran adanya potensi penyebaran virus corona berkelanjutan.
Saat ini, Silmy mengatakan industri baja belum terkena dampak wabah corona karena industri dalam negeri masih memiliki kontrak impor selama enam bulan sejak tahun lalu. Ketika kontrak sudah habis dan pasar tidak mampu menyerap dengan baik, akan ada kelebihan pasokan.
"Ketika ada kelebihan, mereka pasti akan cari pasar yang mudah masuk, salah satunya Indonesia. Karena Indonesia masih belum optimal menggunakan kebijakan dalam menjaga impor," ujar Silmy.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan tingginya impor pada saat ini belum sampai tahap mengkhawatirkan. Pasalnya, kata dia, pelaku usaha pemegang angka pengenal importir produsen (API-P) hanya akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk kebutuhan produksi ataupun kegiatan ekonomi perusahaan. "Kalau tidak dibutuhkan, ya tidak akan kami impor," ujar Shinta.
Selain itu, Shinta berujar faktor kelesuan pasar sudah menjadi penekan atas adanya potensi lonjakan impor. Dengan begitu, kata dia, lonjakan impor yang tidak terkontrol tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, secara logis tidak mungkin impor dilakukan dengan jumlah lebih besar dari periode sebelum perang dagang Amerika Serikat dan Cina, lantaran pasarnya juga sudah menyusut signifikan.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan seharusnya, di tengah penurunan ekspor dan kinerja industri akibat virus corona, pemerintah berpotensi menyerap pasar dalam negeri. Pemerintah, ujar dia, seharusnya dapat memberikan kesempatan kepada industri untuk meningkatkan pangsa pasar dalam negeri. Selain itu, lonjakan impor setelah pulihnya ekonomi Cina juga patut diwaspadai.
"Pengamanan pasar dalam negeri penting untuk menjaga dari serbuan impor yang ‘tidak penting’. Perlu ada perumusan kebijakan non-tarif (NTM) yang mengedepankan fair trade," ujar Heri.
LARISSA HUDA