JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat terjadi lonjakan jumlah barang impor sepanjang tahun lalu. Ketua Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan barang impor yang masuk selain lewat Batam, Kepulauan Riau, mencapai 57,9 juta paket pada 2019. Angka tersebut naik hampir tiga kali lipat dari capaian tahun sebelumnya yang tercatat 19,5 juta paket. Sementara itu, Apindo mencatat hanya ada 6,1 juta paket pada 2017.
"Kami khawatir hal ini akan mengganggu pengusaha kecil dan menengah, termasuk perajin. Karena itu, kami meminta pemerintah membuat tingkat kompetisi yang adil," kata dia di Jakarta, kemarin.
Menurut Hariyadi, idealnya, pertumbuhan jumlah barang kiriman impor ini hanya 5 persen per tahun. Jadi, kata dia, jumlah ideal barang kiriman sepanjang 2019 seharusnya hanya 7,5-8 juta paket jika merujuk capaian pada 2017 dan 2018. Tapi, faktanya, jumlah paket barang kiriman mencapai 58 juta.
Dengan begitu, kata dia, ada 50 juta paket yang berpotensi merugikan pengusaha atau perajin dalam negeri. Selama ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih menetapkan ambang batas pembebasan bea masuk atas barang kiriman sebesar US$ 75 per kiriman. Karena itu, potensi kerugian dari 50 juta paket yang tidak terkena bea masuk sebesar US$ 3,75 miliar atau sekitar Rp 51,1 triliun. "Itulah potensi yang selama ini hilang. Seharusnya dinikmati industri dalam negeri," ujar Hariyadi.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.04/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman. Aturan itu mulai berlaku pada 30 Januari mendatang. Nantinya, batas nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya US$ 75 menjadi US$ 3 per kiriman. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor diberlakukan normal. Pemerintah juga merasionalisasi tarif yang semula 27,5-37,5 persen menjadi 17,5 persen.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G. Ismy, mengatakan industri tekstil dan produk tekstil sangat terpukul oleh membanjirnya barang impor, khususnya industri garmen atau pakaian jadi. Dengan ambang batas bebas bea masuk US$ 75, barang tekstil dan produk tekstil bisa masuk secara bebas dengan kontainer. Padahal, kata dia, produk itu bisa diproduksi di dalam negeri.
Ernovian menuturkan industri pakaian jadi sampai sekarang belum mendapat perlindungan dari pemerintah, seperti bea masuk (safeguard) dan tidak adanya persetujuan impor. Padahal, dia mengatakan industri pakaian jadi merupakan industri padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja. "Kalau tidak dibatasi, industri ini akan habis. Bahkan, bulan depan kita akan banyak impor yang seharusnya mampu diproduksi."
Manajer Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Indonesia E-commerce Association (idEA), Rofi Uddarojat, mengklaim jumlah transaksi perdagangan e-commerce lintas batas atau impor kiriman relatif kecil, yakni sekitar 5 persen. "Pemberlakuan peraturan menteri keuangan baru tidak akan mempengaruhi transaksi e-commerce secara signifikan," tutur Rofi.
Vice President of Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak, mengatakan kebijakan baru pemerintah bisa mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. Menurut dia, kebijakan tersebut tidak menentang barang impor, melainkan menekan transaksi yang tidak memberikan dampak ekonomi sama sekali bagi Indonesia.
"Kami sendiri merupakan marketplace domestik yang tidak memfasilitasi transaksi antar-negara, dan hanya menerima penjual asal Indonesia," ujar Aini. LARISSA HUDA
Kerugian Impor Barang Kiriman Capai Rp 51,1 Triliun