JAKARTA - Kinerja intermediasi perbankan masih belum mencapai performa terbaiknya. Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit perbankan sepanjang 2019 hanya sebesar 6,08 persen, melorot dari capaian 2018 yang tumbuh 12,8 persen. "Ini masih di bawah optimal, sehingga dari sisi kebijakan moneter maupun makroprudensial bank sentral akan terus akomodatif," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, di Jakarta, kemarin.
Perry menuturkan, setelah agresif memangkas suku bunga acuan 7-days reverse repo rate hingga 100 basis point (bps) pada 2019, bank sentral kini berfokus mengakselerasi transmisi penurunan tersebut pada suku bunga kredit dan deposito perbankan. Hal ini diharapkan turut menjadi stimulus dalam mendongkrak permintaan kredit. Adapun kemarin Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5 persen.
Meski demikian, Perry berujar, peluang penurunan suku bunga acuan ke depan tetap terbuka. Tak hanya bergantung pada kebijakan suku bunga, bank sentral juga dapat menggunakan kebijakan injeksi likuiditas dan operasi moneter untuk mendorong ekspansi kredit. Pasalnya, tak hanya dari sisi permintaan (demand) yang harus diperkuat, dari sisi penawaran (supply) ketersediaan likuiditas juga menjadi perhatian bank sentral. "Nanti akan kami amati kebijakan mana yang cocok, sesuai dengan perkembangan ekonomi domestik dan global," ucapnya.
Perry optimistis permintaan pembiayaan akan kembali bangkit dan tahun ini pertumbuhan kredit dapat mencapai 10-12 persen. "Indonesia sudah melewati siklus ekonomi terendah, maka setelah itu akan terus mengalami peningkatan."
Pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan membaik dan harga komoditas yang kembali merangkak naik disebut sebagai faktor pendukungnya. Sedangkan kinerja konsumsi yang stabil serta investasi yang diproyeksikan meningkat juga akan menopang pertumbuhan perekonomian 2020. "Setelah siklus ekonomi naik, akan diikuti juga dengan siklus keuangan, termasuk di dalamnya pertumbuhan kredit," kata Perry.
Presiden Direktur PT Bank Mayapada International Tbk, Hariyono Tjahjarijadi, membenarkan bahwa permintaan kredit masih belum sesuai dengan harapan. "Padahal likuiditas perbankan saat ini normal dan baik," ujarnya.
Menurut dia, penyebab masih lesunya permintaan kredit hingga awal tahun ini adalah sektor usaha yang masih dalam tahap konsolidasi dan daya beli masyarakat yang masih perlu ditingkatkan. "Hampir semua sektor usaha masih belum pulih setelah perlambatan ekonomi tahun lalu. Mudah-mudahan pada kuartal II sudah lebih baik," kata Hariyono.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Sumut, Syahdan Ridwan Siregar, mengatakan likuiditas yang mulai longgar tersebut juga tak lepas dari kebijakan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) oleh bank sentral sejak 2 Januari lalu. "Penurunan GWM 50 bps ini dapat dimanfaatkan bank untuk mendukung ekspansi kredit maupun pemenuhan likuiditas karena semakin banyak dana yang dapat dimanfaatkan," ucapnya. Adapun Bank Sumut memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 9,68 persen atau total penyaluran kredit mencapai Rp 25,8 triliun.
Direktur Utama PT Bank Mayora, Irfanto Oeij, menuturkan, meski kondisi likuiditas berlimpah, pertumbuhan kredit tahun ini mungkin belum akan meningkat signifikan sehingga harus diwaspadai. "Bank memilih untuk menjaga penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) sesuai dengan kemampuan penyaluran kreditnya agar bisa mendapat margin bunga bersih (NIM) yang optimal," katanya.
Ekonom dari PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menambahkan, terdapat potensi pertumbuhan kredit pada 2020 dari sejumlah sektor unggulan yang masih mencatatkan kinerja positif, seperti sektor infrastruktur; usaha mikro, kecil, dan menengah; hingga industri kimia. "Sementara itu, perbankan harus tetap berhati-hati terhadap berbagai usaha yang berkaitan dengan sektor komoditas, khususnya batu bara, mengingat harganya yang masih cenderung berkontraksi walaupun mulai ada kenaikan permintaan," ujar Josua. HENDARTYO HANGGI | GHOIDA RAHMAH
Laju Pertumbuhan Kredit Masih Lemah