JAKARTA – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Rosan P. Roeslani, mengatakan Vietnam dapat memanfaatkan momentum perang dagang Amerika Serikat dengan Cina untuk menggaet investasi. Namun kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama lantaran adanya titik jenuh investasi ke Vietnam.
"Investor mulai khawatir investasi di Vietnam karena masuk banyak pesanan, kemampuan infrastruktur jadi terbatas, mulai dari port dan jalannya. Selain itu, ketersediaan sumber daya manusianya," ujar Rosan, kemarin.
Menurut Rosan, investor mulai khawatir akan banjirnya investasi masuk ke Vietnam, sehingga jarak antara defisit neraca perdagangan Amerika Serikat dan Vietnam akan semakin besar. Investor, kata dia, khawatir Presiden Amerika Donald Trump akan membuat kebijakan untuk memperkecil defisit, sehingga investasi di Vietnam tidak menarik lagi.
"Mereka (investor) mulai melirik Indonesia lagi. Tidak bisa dimungkiri, perekonomian terbesar di Asia Tenggara adalah Indonesia dan middle income akan naik secara signifikan," ujar Rosan.
Rosan melihat ada peluang investasi yang besar dari kondisi tersebut. Namun, kata dia, pekerjaan rumahnya adalah pemerintah harus membenahi birokrasi, administrasi, perizinan, produktivitas, tenaga kerja, hingga biaya logistik yang masih tinggi. "Dengan begini, ada momen kita bisa tingkatkan investasi mengambil keuntungan dari perdagangan ini. Kita harus siap," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W. Khamdani menuturkan, ketika terjadi kepindahan investasi, basis perhitungan untuk memutuskan relokasi tetap sama. Dia menyebut beban tersebut adalah beban kepastian berusaha, beban investasi, beban penciptaan rantai pasok, dan beban untuk operasional. Apabila Indonesia mau menarik investasi, pemerintah harus memastikan sudah mengefisienkan beban-beban tersebut bagi investor.
"Karena perhitungan terhadap beban tersebut di Indonesia masih jauh lebih mahal daripada di Vietnam," tutur Shinta.
Ketika terjadi kejenuhan investasi di Vietnam, industri yang cenderung bertahan adalah industri yang memiliki nilai jual tinggi. Pasalnya, hanya industri-industri tersebut yang bisa menciptakan profit margin yang cukup besar untuk menyeimbangkan pengeluaran investasi dan operasional yang semakin mahal di Vietnam, misalnya industri elektronik. "Artinya, industri sederhana dengan profit margin tidak terlalu besar adalah industri yang akan pertama keluar dari Vietnam, seperti industri garmen," kata Shinta.
Untuk menarik industri seperti ini, kata dia, Indonesia harus bisa menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki efisiensi biaya investasi dan biaya produksi di bawah Vietnam.
Shinta mengatakan menarik investasi dari Vietnam ke Indonesia bakal berdampak pada neraca berjalan. Namun, menurut dia, Indonesia tetap harus menciptakan leverage investasi yang lebih tinggi daripada Vietnam. "Vietnam seharusnya menjadi benchmark bawah, bukan benchmark atas untuk peningkatan daya saing Indonesia."
Senior Researcher PT Bursa Efek Indonesia, Poltak Hotradero, mengatakan ada tiga faktor yang membuat investor jemu merelokasi pabrik-pabriknya ke Vietnam. Pertama, harga properti di Vietnam sudah melonjak. Kedua, standar biaya pengupahan di Vietnam naik tajam dalam waktu yang singkat. Terakhir, sejumlah infrastruktur, seperti pelabuhan, tak siap menampung masuknya barang-barang berskala jumbo.
"Indonesia itu pemain maraton, bukan sprint (lari cepat). Indonesia bermain untuk jangka menengah dan jangka panjang. Karena itu, kita punya peluang," ujar Poltak.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan pemerintah masih terus membenahi iklim investasi dalam negeri. Menurut dia, iklim bisnis Vietnam mulai tak nyaman apabila posisi neraca perdagangan Vietnam dengan Amerika cukup besar. "Tapi kami berharap investasi jangan hanya datang dari limpahan investasi. Kita harus menarik investasi melebihi Vietnam," ujar Susiwijono. LARISSA HUDA
Indonesia Berpeluang Gaet Investasi dari Vietnam