JAKARTA – Pemerintah Indonesia memberlakukan tarif bea masuk antidumping (BMAD) terhadap dua jenis produk tekstil dari sejumlah negara. Ketua Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), Bachrul Chairi, menuturkan salah satu produk yang akan dikenai bea masuk adalah benang filamen sintetik atau spin drawn yarn (SDY) asal Cina. Sejumlah bukti, kata dia, mengindikasikan adanya dumping dari perusahaan eksportir Cina terhadap Indonesia yang belakangan impor benang filamen sintetiknya melonjak. "Untuk SDY ini memang penyelidikan baru. Kami melihat adanya impor dari negara lain menjadi penyebab faktor kerugian dari industri dalam negeri," ujar Bachrul kepada Tempo, kemarin.
Pengenaan bea masuk antidumping terhadap produk SDY asal Cina ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2019 dan berlaku mulai 20 Agustus mendatang selama tiga tahun ke depan.
Selain terhadap SDY, pemerintah menerapkan tarif BMAD atas produk polyester staple fiber (PSF) atau serat fiber dari polimer yang dipotong dengan panjang tertentu dan masuk pos tarif 5503.20.00. Bea masuk tambahan dikenakan terhadap PSF asal Cina, India, dan Taiwan yang berlaku mulai 19 Agustus 2019 selama tiga tahun ke depan. Kebijakan tersebut diatur dalam PMK Nomor 114 Tahun 2019 atas PSF, yang merupakan perpanjangan dari PMK Nomor 73 Tahun 2016. "Pada periode akhir lima tahun setelah diberlakukan, kami melihat lewat sunset review bahwa mereka masih melakukan dumping," ujar Bachrul.
Menurut dia, pemerintah mencermati produk dan teknologi yang digunakan produsen asal sejumlah negara tersebut tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibanding harga domestik. Kondisi ini, kata Bachrul, menyebabkan industri dalam negeri harus menjual di bawah harga pokok produksi. "Sehingga memberikan dampak bagi industri dalam negeri," ucapnya.
Sejumlah indikasi itu diperkuat dengan adanya ekses kapasitas produk PSF asal Cina yang meningkat hingga 30 persen. Bahrul mencurigai hal ini adalah imbas dari pengenaan bea masuk atas produk PSF terhadap sejumlah negara tertuduh tersebut yang diterapkan Amerika Serikat dan Pakistan. Akibatnya, produk asal Cina, India, dan Taiwan yang semula untuk kedua negara itu diduga dialihkan ke Indonesia.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan penetapan BMAD diinisiasi para pelaku usaha atas ketimpangan harga di pasar. Sigit membenarkan adanya temuan ketidakadilan perdagangan atas komoditas dari beberapa negara. "Besaran (tarif) bergantung pada seberapa besar deviasi harganya serta kooperatifnya industri pada saat penyidikan. Dalam hal ini, kami ikut memberikan pertimbangan kepada Kementerian Perdagangan apabila diminta," ujar Sigit.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat, menuturkan BMAD biasanya dikenakan terhadap produsen, bukan negara. Artinya, bisa jadi ada produsen yang tidak dikenai BMAD meski di negara yang sama. Dia memastikan otoritas bea dan cukai akan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini. "Ketentuan tersebut dimasukkan ke sistem impor kami sehingga saat ada impor barang tersebut, sistem akan memeriksa dokumen dan akan muncul beban yang harus dipungut atau dibayarkan," tutur Syarif.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia, Redma Gita Wiraswasta, berharap penerapan BMAD akan menyehatkan persaingan dagang di dalam negeri. Meski begitu, Redma berharap pemerintah juga menerapkan safeguard atau BMAD terhadap produk kain grey atau kain mentah hingga garmen agar industri lokal tetap membeli bahan baku dari dalam negeri setelah harga barang impor dinaikkan. "Dengan begitu, meski produsen harus membayar bahan baku sedikit lebih mahal karena pakai bahan baku dalam negeri, setidaknya mereka bisa jual di pasar," ujar Redma.
LARISSA HUDA