maaf email atau password anda salah


Apa Perlu Badan Urusan Haji

Pembentukan Badan Penyelenggara Haji diduga melanggar UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Arab Saudi menerapkan penswastaan haji.

arsip tempo : 172992459261.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172992459261.

BARU dilantik sebagai presiden, Prabowo Subianto patut diduga menerobos perundang-undangan. Ia membentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH) yang dikepalai kader Partai Gerindra, Mochamad Irfan Yusuf, dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 144/P Tahun 2024. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah belum direvisi.

Menurut Pasal 10 undang-undang tersebut, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Alih-alih membentuk BPH, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mengubah dulu Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Apalagi tahapan musim haji 2025 sudah digulirkan Kementerian Agama.

Boleh jadi Prabowo geram dengan terus berulangnya masalah dalam penyelenggaraan haji. Tapi bukan berarti dia harus membuat kebijakan yang terburu-buru. Boleh jadi juga pembentukan BPH ini merupakan respons atas kebijakan Arab Saudi yang mengubah pengelolaan ibadah haji. Pemerintah Arab Saudi menyerahkan hal tersebut kepada Syarikah—badan swasta pengganti Muassasah.

Kalau pemerintah Arab Saudi bisa, mengapa kita tidak. Lagi pula apa perlunya BPH kalau sekadar menggantikan peran dan tugas serta fungsi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Lalu, bagaimana pula nasib badan urusan haji yang satu lagi, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Apakah keberadaan BPKH tetap dipertahankan meskipun sebatas juru bayar atau kasir itu? Ataukah dilebur ke dalam BPH?

Sementara itu, swasta atau biro perjalanan haji dan umrah sudah menyelenggarakan haji khusus. Berdasarkan data Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh), ada 640 penyelenggara ibadah haji khusus yang aktif di seluruh Indonesia. Dari 241 ribu kuota haji pada 2024, sebanyak 27.680 orang merupakan jemaah haji khusus.

Menyerahkan penyelenggaraan haji kepada pihak swasta yang kredibel dan memiliki rekam jejak yang bagus dapat menjadi solusi untuk mengatasi kekacauan yang sering terjadi dalam setiap musim haji. Kekacauan tersebut berpangkal pada Kementerian Agama yang memonopoli urusan haji: sebagai regulator, operator, sekaligus pengawas. Jika swasta berfokus menjadi operator haji, Kementerian Agama cukup memusatkan perhatian pada pengawasannya.

Apabila penswastaan haji reguler itu tidak terelakkan, pemerintah perlu mengantisipasi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) agar tetap terjangkau oleh calon haji yang berposisi tawar lemah. Untuk itu, reformasi pengelolaan dana haji adalah keharusan. Saat ini, ada lebih dari 5,4 juta orang yang antre pemberangkatan dengan waktu tunggu rata-rata 30 tahun untuk haji reguler dan 5-9 tahun untuk haji khusus. Bila dana haji yang nilainya Rp 186 triliun itu dikelola dengan tepat, calon haji tak perlu menambah biaya yang besar untuk melunasi BPIH.

Ihwal waktu tunggu yang makin lama, sudah saatnya pemerintah dan DPR mempertimbangkan pengetatan persyaratan calon haji dalam revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Wacana pembatasan haji hanya satu kali patut dikemukakan kembali.

Itu semua adalah pekerjaan rumah pemerintahan Prabowo dalam penyelenggaraan ibadah haji. Bukan sekadar membentuk badan urusan haji.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 26 Oktober 2024

  • 25 Oktober 2024

  • 24 Oktober 2024

  • 23 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan