Melawan Skenario Calon Tunggal
Skenario calon tunggal atau kotak kosong merusak demokrasi dan menyuburkan korupsi. KPU malah mendukung.
KEMUNCULAN calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024 merupakan kesalahan besar partai politik. Keputusan mengusung satu pasangan calon kepala daerah dan wakilnya menunjukkan partai hanya berorientasi mengejar kemenangan dan kekuasaan serta gagal menjalankan fungsi kaderisasi. Pragmatisme partai mendukung skenario kotak kosong, sebagai lawan dari calon tunggal, ikut menyuburkan praktik dinasti politik dan korupsi di daerah.
Peluang partai untuk mengajukan calon alternatif sebenarnya terbuka lebar setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menurunkan ambang batas suara partai dalam mencalonkan kepala daerah pada 20 Agustus 2024. Namun, di berbagai daerah, partai tetap enggan mengajukan calon baru. Hingga Senin, 16 September 2024, setidaknya ada 38 daerah yang akan menggelar pilkada dengan calon tunggal. Salah satunya adalah pemilihan Gubernur Papua Barat.
Pengajuan calon tunggal kental akan politik transaksional. Kader yang telah bertahun-tahun berjuang akhirnya kalah oleh pragmatisme partai untuk mendapatkan upeti dari calon tunggal atau kue kekuasaan di daerah. Pragmatisme ini akan mematikan mekanisme checks and balances karena partai sejak awal tak mau berhadapan dengan calon kepala daerah. Tanpa pengawasan yang ketat, pemerintahan pasti akan berkawan erat dengan korupsi.
Keengganan partai menyehatkan demokrasi lokal makin menjadi ketika calon tunggal punya pertalian dengan penguasa. Di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, Annisa Suci Ramadhani, yang berkerabat dengan Presiden Joko Widodo, melenggang sebagai calon tunggal setelah dua partai, Partai Keadilan Sejahtera dan NasDem, mencabut dukungan untuk penantangnya. Pengurus pusat dua partai itu ditengarai ciut dan membatalkan keputusan pengurus daerah mengajukan calon lain.
Bukannya berupaya memperbaiki kondisi itu, Komisi Pemilihan Umum malah ikut-ikutan menjegal kemunculan calon alternatif dengan mewajibkan partai yang mencabut dukungan terhadap satu kandidat harus mendapat persetujuan dari koalisi partainya. Tentu saja koalisi partai tak mau jagoannya kalah oleh calon baru. Apalagi jika kandidatnya merupakan calon tunggal yang bisa meraih kemenangan dengan mudah.
Meski belakangan KPU mencabut syarat itu, para calon alternatif sempat dipersulit ketika mendaftar. Di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, KPU daerah mempersoalkan peralihan dukungan dari partai yang sebelumnya ikut mengusung calon tunggal. Sedangkan di Tapanuli Tengah, KPU setempat sempat menolak calon dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu-Mahmud Efendi. Kecuali partai berlambang kepala banteng tersebut, semua partai di kabupaten itu mengusung calon tunggal. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, PDIP bisa mengajukan calon sendiri.
Sikap partai dan KPU yang mendukung calon tunggal pastilah menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan pilkada. Apalagi netralitas dan keprofesionalan KPU telah runtuh saat pelaksanaan Pemilu 2024. Saat itu KPU memberikan karpet merah untuk Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, calon yang didukung oleh Istana.
Para pemilih bisa memberikan pelajaran kepada partai politik dengan memenangkan kotak kosong. Dengan begitu, pelaksanaan pilkada 2024 akan diulang. Proses panjang ini diperlukan untuk melawan pragmatisme politik yang mengancam demokrasi. Tanpa perlawanan dari publik terhadap calon tunggal, partai politik akan terus membajak demokrasi.