maaf email atau password anda salah


Siasat di Balik Utak-atik Anggaran Pendidikan

Sungguh disayangkan jika anggaran pendidikan dipangkas untuk memenuhi agenda politis. Padahal pendidikan merupakan investasi jangka panjang.

arsip tempo : 172656248760.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172656248760.

RENCANA Menteri Keuangan Sri Mulyani mengubah formulasi anggaran wajib pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perlu diawasi. Selain akan menyusutkan anggaran pendidikan, hal tersebut mengaburkan penggunaan anggaran pendidikan tahun depan untuk membiayai program yang merupakan janji kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto.

Sri Mulyani mengusulkan agar sumber anggaran pendidikan diubah dari sebelumnya merujuk pada belanja negara menjadi mengacu pada pendapatan negara. Ia berargumen, dengan bersandar pada belanja negara, anggaran pendidikan jadi naik-turun. Sekilas gagasan ini tampak masuk akal, tapi sebenarnya bermasalah. Anggaran pendidikan 2024, misalnya, pada belanja angkanya Rp 665 triliun. Tapi, apabila mandatory spending mengacu pada penerimaan negara, anggaran pendidikan menjadi Rp 560,4 triliun.

Selama ini, tanpa perubahan penghitungan pun, anggaran negara yang mengalir untuk bidang pendidikan sudah susut. Dana biaya operasional sekolah pada 2024, misalnya, hanya Rp 59 triliun. Alokasi dana pendidikan tahun ini justru paling banyak untuk transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 346,55 triliun atau 52 persen dari total nilai anggaran. Alih-alih bertujuan untuk ketahanan APBN, rencana perubahan formulasi tidak memperbaiki realisasi dana pendidikan yang terus merosot setiap tahun.

Pada saat bersamaan, dengan mencuatnya usulan Sri Mulyani, pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui penggunaan cadangan anggaran pendidikan untuk membiayai empat program percepatan yang dibuat Prabowo. Empat program itu akan menghabiskan kas negara sebesar Rp 113 triliun. Alokasi terbesarnya untuk program makan bergizi gratis yang menghabiskan anggaran Rp 71 triliun.

Cadangan anggaran pendidikan pun turun Rp 66,85 triliun. Selain dari cadangan pendidikan, dana untuk membiayai empat program tersebut diambil dari cadangan belanja negara (turun Rp 28,29 triliun) dan cadangan transfer ke daerah (turun Rp 14,38 triliun). Dari besaran pemangkasan, terlihat bahwa anggaran pendidikanlah yang paling banyak dikorbankan.

Padahal program-program tersebut tak mendesak. Misalnya, pembangunan sekolah terintegrasi di Ibu Kota Nusantara belum diperlukan lantaran belum ada penduduk di sana. Demikian juga pembangunan lumbung pangan yang menyedot anggaran Rp 15 triliun. Bukan hanya tak mendesak, program ini juga bermasalah. Pembangunan lumbung pangan terbukti ambyar di pemerintahan Joko Widodo. Selain tidak meningkatkan produksi, program ini malah merusak lingkungan.

Sungguh disayangkan jika anggaran pendidikan dipangkas untuk memenuhi agenda politis. Padahal pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Pemerintah sesat pikir jika beranggapan sebagian belanja dana pendidikan tidak tepat sasaran sehingga anggarannya perlu dipangkas. Solusi untuk hal ini adalah kontrol ketat terhadap efektivitas belanja, bukan pengurangan anggaran.

Utak-atik anggaran pendidikan sesungguhnya demi menciptakan ruang fiskal bagi pemerintahan Prabowo mendatang untuk menjalankan program ambisiusnya. Rencana perubahan formula anggaran wajib pendidikan bertujuan agar amanat undang-undang dasar terlihat seolah-olah sudah terpenuhi.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan