maaf email atau password anda salah


Harimaumu Program Makan Siang Gratis

Program makan siang gratis, yang kini diubah menjadi makan bergizi gratis, bakal membebani APBN. Lebih baik dibatalkan.

arsip tempo : 172203880063.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172203880063.

KEPUTUSAN presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengubah program makan siang gratis menjadi makan bergizi gratis mengungkap satu hal penting. Program tersebut memang prematur dan bermuatan politik elektoral, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dan keuangan negara.

Program makan siang gratis merupakan janji Prabowo yang paling populer dalam pemilihan presiden 2024. Ia mencanangkan Indonesia bebas dari stunting melalui pemberian makan siang serta susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Belakangan, program yang akan menyasar 82,9 juta penerima tersebut diubah menjadi penyediaan sarapan bergizi seimbang bagi siswa sekolah yang membutuhkan. 

Perubahan konsep itu diklaim demi fleksibilitas. Waktu sarapan gratis bisa disesuaikan dengan jadwal pelajaran setempat. Konsep baru itu juga akan mengutamakan sumber pangan lokal demi memberdayakan warga setempat sekaligus menekan biaya. Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran mendaku perubahan konsep itu bisa menghemat anggaran hingga separuhnya. 

Klaim penghematan ini perlu diperiksa kebenarannya. Komposisi makan pagi dan siang orang Indonesia biasanya sama, yaitu nasi, sayur, dan protein. Karena itu, kebutuhan anggaran sarapan gratis tak akan berbeda jauh dengan anggaran makan siang gratis. Jika kelak anggaran sarapan gratis jauh lebih hemat karena harga menunya lebih murah, patut diperiksa dengan saksama kelayakannya. Bisa saja sarapannya memang ada, tapi gizinya jauh dari memadai.

Lagi pula, kalaupun benar penghematan bisa dilakukan, total anggarannya masih tetap jumbo. Tim Prabowo-Gibran semula memperkirakan kebutuhan anggaran program makan siang gratis sebesar Rp 450 triliun per tahun. Setelah dihemat setengahnya menjadi Rp 225 triliun, angka tersebut tetap besar. Bandingkan dengan anggaran kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 sebesar Rp 187,5 triliun atau dengan anggaran ketahanan pangan yang “hanya” Rp 114 triliun.

Dengan anggaran sebesar itu, program sarapan gratis akan memberi tekanan signifikan terhadap APBN 2025. Padahal APBN yang sama juga masih harus menanggung beban besar dari warisan proyek Presiden Joko Widodo, seperti Ibu Kota Nusantara dan proyek strategis nasional lainnya yang belum selesai. 

Demi memuluskan program sarapan gratis ini, pemerintah dikhawatirkan bakal merealokasi anggaran program lain yang lebih penting, seperti belanja infrastruktur, subsidi energi, dan belanja sosial. Ini berbahaya karena berpotensi meningkatkan risiko sosial. Padahal program sarapan gratis itu belum tentu mendatangkan manfaat yang sebanding dengan program yang tereliminasi atau terpangkas anggarannya.

Realokasi anggaran itu akan “terpaksa” dilakukan pemerintah demi menjaga agar defisit membengkak, terutama bila skenario business as usual harus menjadi pilihan. Dua alternatif untuk menambah pemasukan, menaikkan rasio pajak dan menambah utang, sama-sama sulit dilakukan serta berisiko. 

Menambah ruang fiskal dari kenaikan rasio pajak dalam jangka pendek tidak mudah dilakukan karena kondisi ekonomi yang tengah kita hadapi. Meningkatkan utang juga berisiko tinggi karena beban utang pada keuangan negara telah berada di tingkat yang sangat memberatkan. 

Ibarat ungkapan “mulutmu harimaumu”, Prabowo bakal menghadapi kesulitan akibat sesumbar saat kampanye. Ia menyederhanakan masalah pemberantasan stunting dengan pemberian makan siang gratis. Kini program itu harus direvisi dan berpotensi dilaksanakan dengan berbagai akrobat anggaran yang justru bisa membawa lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.

Karena itu, program makan siang gratis yang kini telah berubah nama menjadi program sarapan bergizi gratis sepatutnya dibatalkan. Program ini bisa mengancam stabilitas anggaran negara. Apalagi, ketika tata kelola dan transparansi masih menjadi pekerjaan rumah seperti di Indonesia, program dengan biaya besar seperti ini berpotensi membuka peluang terjadinya moral hazard dan menjadi ladang korupsi.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 Juli 2024

  • 26 Juli 2024

  • 25 Juli 2024

  • 24 Juli 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan