Buat Apa Seleksi Calon Pemimpin KPK
Pemberantasan korupsi rusak sejak pemerintahan Jokowi dan DPR merevisi Undang-Undang KPK pada 2019. KPK seperti bus rombeng.
JANGAN berharap seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi menghasilkan komisioner yang bisa membuat lembaga itu bertaji lagi. KPK yang kita kenal dan harapkan memberantas korupsi sudah wafat pada 2019 setelah undang-undangnya direvisi oleh pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Maka, apa yang dilakukan pemerintah hari-hari ini dengan membentuk panitia seleksi untuk menjaring pimpinan KPK periode 2024-2029 hanyalah “formalitas” bahwa, setelah masa jabatan pemimpin KPK yang sekarang berakhir, Jokowi membentuk panitia seleksi untuk mencari calon komisioner periode berikutnya sebelum DPR memilih lima orang dari sepuluh calon yang disodorkan panitia seleksi. Namun siapa pun yang terpilih tak akan sanggup memperbaiki KPK yang telah rusak.
Undang-Undang KPK yang diubah Jokowi dan DPR memangkas sejumlah kewenangan lembaga itu. Dengan payung hukum yang baru tersebut, KPK tak seindependen sebelumnya. Berada di rumpun eksekutif, lembaga ini gampang disetir penguasa. Sejumlah aturan internal pun diubah menjadi longgar sehingga penghuni lembaga ini rentan bermain mata dengan pihak luar.
Dikebiri dari luar lewat revisi undang-undang, lembaga antirasuah ini juga membusuk dari dalam. Para personelnya tidak lagi patuh kepada pimpinan, melainkan kepada korps asalnya. Seorang penyidiknya, seperti Stepanus Robin Pattuju, memeras tersangka. Seorang jaksanya diperiksa Dewan Pengawas KPK karena “menginjak” saksi agar memberikan besel dengan ancaman akan menjadikannya tersangka. Pemimpinnya, Lili Pintauli Siregar, diduga menerima gratifikasi. Sebelum diperiksa Dewan Pengawas, Lili mundur dan terhindar dari hukuman etik.
Bahkan ketuanya, Firli Bahuri, diduga memeras tersangka korupsi Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian periode 2019-2023. Sama seperti Lili, Firli buru-buru mundur. Kini Firli masih bebas berkeliaran meski menyandang status tersangka dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
Ikan busuk dari kepalanya. Kerusakan di KPK telah menyebar hingga ke bawah. Lima belas pegawai dan eks pegawai di rumah tahanan KPK kedapatan memeras tahanan lembaganya. Sepanjang 2019-2023, mereka menguras Rp 6,3 miliar dari kantong para tahanan.
Saking rusaknya KPK, orang suci sekalipun yang menjadi pemimpin lembaga ini tetap tak akan mampu menolong. Maka, sungguh naif jika kita masih berharap panitia seleksi menghasilkan pemimpin yang bisa mengembalikan KPK seperti cita-cita reformasi 1998. Selama undang-undangnya tak dikembalikan seperti sebelumnya, KPK tak akan pernah seperti dulu lagi.
Ibarat kendaraan, KPK adalah bus rombeng dengan onderdil kualitas rendah. Onderdil aslinya—Undang-Undang KPK sebelum 2019—sudah dilucuti. Baru jalan sebentar saja, bus sudah mogok, seperti sejumlah kasus korupsi yang diusut dan kini mangkrak. Sejago-jagonya sopir, bus tak akan sanggup menaklukkan tanjakan terjal dan turunan curam.
Yang dibutuhkan oleh bus ini bukan hanya sopir yang mahir, tapi juga onderdil yang orisinal. Demikian juga KPK.