Bom Waktu Pasir Laut
Kementerian Kelautan menetapkan tujuh lokasi pengerukan pasir laut. Bom waktu yang merusak lingkungan.
Ancaman kerusakan lingkungan ibarat bom waktu setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan tujuh lokasi penambangan pasir laut. Jika tak diantisipasi dengan serius, kebijakan tersebut bakal memicu eksploitasi pengerukan pasir dan material laut secara masif serta serampangan. Selain merusak ekosistem perairan setempat, penambangan pasir laut bakal mengganggu wilayah tangkap para nelayan.
Belum lama ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan tujuh lokasi pengerukan pasir laut. Penentuan lokasi tersebut untuk melengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Sebelumnya, Kementerian Kelautan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan Nomor 33 Tahun 2023 sebagai aturan pelaksana peraturan pemerintah. Dua bantalan hukum itu tak bisa diterapkan karena Kementerian Kelautan belum menentukan lokasi penambangan.
Dengan adanya kejelasan perihal lokasi pengerukan, Kementerian Kelautan dapat membuka akses perizinan seluas-luasnya bagi pelaku usaha yang ingin menambang pasir laut di lokasi yang sudah ditentukan, baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor.
Tujuh lokasi penambangan berada di wilayah laut Kota Surabaya, Balikpapan, serta Pulau Karimun dan Bintan di Kepulauan Riau. Sisanya ditetapkan untuk perairan di sekitar Kabupaten Cirebon, Indramayu, Demak, dan Kutai Kartanegara. Selama ini, wilayah perairan tersebut merupakan ladang penghidupan bagi para nelayan tradisional. Pengerukan material pasir laut praktis mengusir habitat ikan ke wilayah perairan lain.
Dampak yang muncul akibat penambangan pasir laut tersebut seolah-olah tak masuk kalkulasi pemerintah. Para nelayan dan ekosistem perairan menjadi tumbal guna memuluskan jalan bagi para pengusaha yang berminat mengeruk keuntungan. Dengan menimbang besarnya potensi kerusakan lingkungan, sudah selayaknya pemerintah memoratorium akses perizinan yang dibuka bagi para pengusaha sejak 15 Maret hingga 28 Maret 2024.
Sejak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 pada 15 Mei 2023, kalangan masyarakat sipil maupun lingkup internal pemerintah menolaknya. Pegiat lingkungan mengecam aturan hukum tersebut karena tak didahului dengan kajian yang memadai. Peraturan tersebut ujug-ujug muncul tanpa pernah ada pelibatan partisipasi publik.
Di lingkup internal, penolakan datang dari Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Tim itu merekomendasikan peraturan pemerintah tersebut dicabut karena bakal merusak ekosistem laut secara permanen serta menyuburkan praktik ekspor pasir ilegal. Kecurigaan itu bisa dipahami karena Singapura tengah membutuhkan material pasir dalam jumlah besar guna keperluan reklamasi perluasan wilayah pantai mereka. Reklamasi tersebut dikhawatirkan memicu konflik baru ihwal batas wilayah yang hingga kini belum selesai.
Rekomendasi itu tak mengubah obsesi pemerintahan Jokowi. Tak mengherankan bila program ini dibanjiri tudingan yang menyebut pemerintah hanya ingin mengejar cuan devisa. Karpet merah untuk Singapura ini juga tak lepas dari niat pemerintah merangkul mereka dalam pengembangan kawasan ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Padahal keuntungan itu boleh jadi semu belaka lantaran upaya pemulihan kerusakan ekosistem bukan perkara sederhana karena menyedot anggaran besar.
Berdasarkan kajian sejumlah lembaga pemerhati lingkungan pada 2021, ongkos yang harus dikeluarkan untuk memulihkan 344,8 juta meter kubik hasil penambangan pasir laut mencapai Sin$ 129,3 juta atau setara dengan Rp 1,507 triliun per tahun. Sedangkan keuntungan ekonomi dari penjualan satu meter kubik pasir laut lima kali lebih kecil dari ongkos pemulihan.
Dengan kalkulasi untung-rugi tersebut, penghentian penambangan pasir laut merupakan opsi yang paling bijak. Sebab, meneruskan kebijakan ini sama saja dengan melanggengkan kerusakan di laut serta menghancurkan rumah tangga perikanan.